12 Hadits Lemah dan Palsu Seputar Ramadhan

Photobucket


Islam adalah agama yang ilmiah. Setiap amalan, keyakinan, atau ajaran yang disandarkan kepada Islam harus memiliki dasar dari Al Qur’an dan Hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang otentik. Dengan ini, Islam tidak memberi celah kepada orang-orang yang beritikad buruk untuk menyusupkan pemikiran-pemikiran atau ajaran lain ke dalam ajaran Islam.Karena pentingnya hal ini, tidak heran apabila Abdullah bin Mubarak rahimahullah mengatakan perkataan yang terkenal:

الإسناد من الدين، ولولا الإسناد؛ لقال من شاء ما شاء

“Sanad adalah bagian dari agama. Jika tidak ada sanad, maka orang akan berkata semaunya.” (Lihat dalam Muqaddimah Shahih Muslim, Juz I, halaman 12)

Dengan adanya sanad, suatu perkataan tentang ajaran Islam dapat ditelusuri asal-muasalnya.

Oleh karena itu, penting sekali bagi umat muslim untuk memilah hadits-hadits, antara yang shahih dan yang dhaif, agar diketahui amalan mana yang seharusnya diamalkan karena memang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam serta amalan mana yang tidak perlu dihiraukan karena tidak pernah diajarkan oleh beliau.

Berkaitan dengan bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, akan kami sampaikan beberapa hadits lemah dan palsu mengenai puasa yang banyak tersebar di masyarakat. Untuk memudahkan pembaca, kami tidak menjelaskan sisi kelemahan hadits, namun hanya akan menyebutkan kesimpulan para pakar hadits yang menelitinya. Pembaca yang ingin menelusuri sisi kelemahan hadits, dapat merujuk pada kitab para ulama yang bersangkutan.

Hadits 1

صوموا تصحوا

“Berpuasalah, kalian akan sehat.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di Ath Thibbun Nabawi sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), oleh Ath Thabrani di Al Ausath (2/225), oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (3/227).

Hadits ini dhaif (lemah), sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), juga Al Albani di Silsilah Adh Dha’ifah (253). Bahkan Ash Shaghani agak berlebihan mengatakan hadits ini maudhu (palsu) dalam Maudhu’at Ash Shaghani (51).

Keterangan: jika memang terdapat penelitian ilmiah dari para ahli medis bahwa puasa itu dapat menyehatkan tubuh, makna dari hadits dhaif ini benar, namun tetap tidak boleh dianggap sebagai sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.

Hadits 2

نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ

“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, do’anya dikabulkan, dan amalannya pun akan dilipatgandakan pahalanya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1437).

Hadits ini dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (1/310). Al Albani juga mendhaifkan hadits ini dalam Silsilah Adh Dha’ifah (4696).

Terdapat juga riwayat yang lain:

الصائم في عبادة و إن كان راقدا على فراشه

“Orang yang berpuasa itu senantiasa dalam ibadah meskipun sedang tidur di atas ranjangnya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Tammam (18/172). Hadits ini juga dhaif, sebagaimana dikatakan oleh Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (653).

Yang benar, tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah. Maka, sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah. Misalnya, seseorang tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah.

Sebaliknya, tidak setiap tidur orang berpuasa itu bernilai ibadah. Sebagai contoh, tidur karena malas, atau tidur karena kekenyangan setelah sahur. Keduanya, tentu tidak bernilai ibadah, bahkan bisa dinilai sebagai tidur yang tercela. Maka, hendaknya seseorang menjadikan bulan ramadhan sebagai kesempatan baik untuk memperbanyak amal kebaikan, bukan bermalas-malasan.

Hadits 3

يا أيها الناس قد أظلكم شهر عظيم ، شهر فيه ليلة خير من ألف شهر ، جعل الله صيامه فريضة ، و قيام ليله تطوعا ، و من تقرب فيه بخصلة من الخير كان كمن أدى فريضة فيما سواه ، و من أدى فريضة كان كمن أدى سبعين فريضة فيما سواه ، و هو شهر الصبر و الصبر ثوابه الجنة ، و شهر المواساة ، و شهر يزاد فيه رزق المؤمن ، و من فطر فيه صائما كان مغفرة لذنوبه ، و عتق رقبته من النار ، و كان له مثل أجره من غير أن ينتقص من أجره شيء قالوا : يا رسول الله ليس كلنا يجد ما يفطر الصائم ، قال : يعطي الله هذا الثواب من فطر صائما على مذقة لبن ، أو تمرة ، أو شربة من ماء ، و من أشبع صائما سقاه الله من الحوض شربة لايظمأ حتى يدخل الجنة ، و هو شهر أوله رحمة و وسطه مغفرة و آخره عتق من النار ،

“Wahai manusia, bulan yang agung telah mendatangi kalian. Di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari 1. 000 bulan. Allah menjadikan puasa pada siang harinya sebagai sebuah kewajiban, dan menghidupkan malamnya sebagai ibadah tathawwu’ (sunnah). Barangsiapa pada bulan itu mendekatkan diri (kepada Allah) dengan satu kebaikan, ia seolah-olah mengerjakan satu ibadah wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa mengerjakan satu perbuatan wajib, ia seolah-olah mengerjakan 70 kebaikan di bulan yang lain. Ramadhan adalah bulan kesabaran, sedangkan kesabaran itu balasannya adalah surga. Ia (juga) bulan tolong-menolong. Di dalamnya rezki seorang mukmin ditambah. Barangsiapa pada bulan Ramadhan memberikan hidangan berbuka kepada seorang yang berpuasa, dosa-dosanya akan diampuni, diselamatkan dari api neraka dan memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tadi sedikitpun” Kemudian para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, tidak semua dari kita memiliki makanan untuk diberikan kepada orang yang berpuasa.” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkata, “Allah memberikan pahala tersebut kepada orang yang memberikan hidangan berbuka berupa sebutir kurma, atau satu teguk air atau sedikit susu. Ramadhan adalah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan) dan akhirnya pembebasan dari api neraka.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887), oleh Al Mahamili dalam Amaliyyah (293), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (6/512), Al Mundziri dalam Targhib Wat Tarhib (2/115)

Hadits ini didhaifkan oleh para pakar hadits seperti Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (2/115), juga didhaifkan oleh Syaikh Ali Hasan Al Halabi di Sifatu Shaumin Nabiy (110), bahkan dikatakan oleh Abu Hatim Ar Razi dalam Al ‘Ilal (2/50) juga Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (871) bahwa hadits ini Munkar.

Yang benar, di seluruh waktu di bulan Ramadhan terdapat rahmah, seluruhnya terdapat ampunan Allah dan seluruhnya terdapat kesempatan bagi seorang mukmin untuk terbebas dari api neraka, tidak hanya sepertiganya. Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini adalah:

من صام رمضان إيمانا واحتسابا ، غفر له ما تقدم من ذنبه

“Orang yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no.38, Muslim, no.760)

Dalam hadits ini, disebutkan bahwa ampunan Allah tidak dibatasi hanya pada pertengahan Ramadhan saja.

Adapun mengenai apa yang diyakini oleh sebagian orang, bahwa setiap amalan sunnah kebaikan di bulan Ramadhan diganjar pahala sebagaimana amalan wajib, dan amalan wajib diganjar dengan 70 kali lipat pahala ibadah wajib diluar bulan Ramadhan, keyakinan ini tidaklah benar berdasarkan hadits yang lemah ini. Walaupun keyakinan ini tidak benar, sesungguhnya Allah ta’ala melipatgandakan pahala amalan kebaikan berlipat ganda banyaknya, terutama ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Hadits 4

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال : اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت فتقبل مني إنك أنت السميع العليم

“Biasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika berbuka membaca doa: Allahumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu fataqabbal minni, innaka antas samii’ul ‘aliim.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya (2358), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (4/1616), Ibnu Katsir dalam Irsyadul Faqih (289/1), Ibnul Mulaqqin dalam Badrul Munir (5/710)

Ibnu Hajar Al Asqalani berkata di Al Futuhat Ar Rabbaniyyah (4/341) : “Hadits ini gharib, dan sanadnya lemah sekali”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Asy Syaukani dalam Nailul Authar (4/301), juga oleh Al Albani di Dhaif Al Jami’ (4350). Dan doa dengan lafadz yang semisal, semua berkisar antara hadits lemah dan munkar.

Sedangkan doa berbuka puasa yang tersebar dimasyarakat dengan lafadz:

اللهم لك صمت و بك امنت و على رزقك افطرت برحمتك يا ارحم الراحمين

“Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, atas rezeki-Mu aku berbuka, aku memohon Rahmat-Mu wahai Dzat yang Maha Penyayang.”

Hadits ini tidak terdapat di kitab hadits manapun. Atau dengan kata lain, ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Al Mulla Ali Al Qaari dalam kitab Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih: “Adapun doa yang tersebar di masyarakat dengan tambahan ‘wabika aamantu’ sama sekali tidak ada asalnya, walau secara makna memang benar.”

Yang benar, doa berbuka puasa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam terdapat dalam hadits:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله

“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka puasa membaca doa:

ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله

/Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insyaa Allah/

(‘Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, semoga pahala didapatkan. Insya Allah’)”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud (2357), Ad Daruquthni (2/401), dan dihasankan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah, 2/232 juga oleh Al Albani di Shahih Sunan Abi Daud.

Hadits 5

من أفطر يوما من رمضان من غير رخصة لم يقضه وإن صام الدهر كله

“Orang yang sengaja tidak berpuasa pada suatu hari di bulan Ramadhan, padahal ia bukan orang yang diberi keringanan, ia tidak akan dapat mengganti puasanya meski berpuasa terus menerus.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di Al’Ilal Al Kabir (116), oleh Abu Daud di Sunannya (2396), oleh Tirmidzi di Sunan-nya (723), Imam Ahmad di Al Mughni (4/367), Ad Daruquthni di Sunan-nya (2/441, 2/413), dan Al Baihaqi di Sunan-nya (4/228).

Hadits ini didhaifkan oleh Al Bukhari, Imam Ahmad, Ibnu Hazm di Al Muhalla (6/183), Al Baihaqi, Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (7/173), juga oleh Al Albani di Dhaif At Tirmidzi (723), Dhaif Abi Daud (2396), Dhaif Al Jami’ (5462) dan Silsilah Adh Dha’ifah (4557). Namun, memang sebagian ulama ada yang menshahihkan hadits ini seperti Abu Hatim Ar Razi di Al Ilal (2/17), juga ada yang menghasankan seperti Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah (2/329) dan Al Haitsami di Majma’ Az Zawaid (3/171). Oleh karena itu, ulama berbeda pendapat mengenai ada-tidaknya qadha bagi orang yang sengaja tidak berpuasa.

Yang benar -wal ‘ilmu ‘indallah- adalah penjelasan Lajnah Daimah Lil Buhuts Wal Ifta (Komisi Fatwa Saudi Arabia), yang menyatakan bahwa “Seseorang yang sengaja tidak berpuasa tanpa udzur syar’i,ia harus bertaubat kepada Allah dan mengganti puasa yang telah ditinggalkannya.” (Periksa: Fatawa Lajnah Daimah no. 16480, 9/191)

Hadits 6

لا تقولوا رمضان فإن رمضان اسم من أسماء الله تعالى ولكن قولوا شهر رمضان

“Jangan menyebut dengan ‘Ramadhan’ karena ia adalah salah satu nama Allah, namun sebutlah dengan ‘Bulan Ramadhan.’”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan-nya (4/201), Adz Dzaahabi dalam Mizanul I’tidal (4/247), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), Ibnu Katsir di Tafsir-nya (1/310).

Ibnul Jauzi dalam Al Maudhuat (2/545) mengatakan hadits ini palsu. Namun, yang benar adalah sebagaimana yang dikatakan oleh As Suyuthi dalam An Nukat ‘alal Maudhuat (41) bahwa “Hadits ini dhaif, bukan palsu”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), An Nawawi dalam Al Adzkar (475), oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari (4/135) dan Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (6768).

Yang benar adalah boleh mengatakan ‘Ramadhan’ saja, sebagaimana pendapat jumhur ulama karena banyak hadits yang menyebutkan ‘Ramadhan’ tanpa ‘Syahru (bulan)’.

Hadits 7

أن شهر رمضان متعلق بين السماء والأرض لا يرفع إلا بزكاة الفطر

“Bulan Ramadhan bergantung di antara langit dan bumi. Tidak ada yang dapat mengangkatnya kecuali zakat fithri.”

Hadits ini disebutkan oleh Al Mundziri di At Targhib Wat Tarhib (2/157). Al Albani mendhaifkan hadits ini dalam Dhaif At Targhib (664), dan Silsilah Ahadits Dhaifah (43).

Yang benar, jika dari hadits ini terdapat orang yang meyakini bahwa puasa Ramadhan tidak diterima jika belum membayar zakat fithri, keyakinan ini salah, karena haditsnya dhaif. Zakat fithri bukanlah syarat sah puasa Ramadhan, namun jika seseorang meninggalkannya ia mendapat dosa tersendiri.

Hadits 8

رجب شهر الله ، وشعبان شهري ، ورمضان شهر أمتي

“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Adz Dzahabi di Tartibul Maudhu’at (162, 183), Ibnu Asakir di Mu’jam Asy Syuyukh (1/186).

Hadits ini didhaifkan oleh di Asy Syaukani di Nailul Authar (4/334), dan Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (4400). Bahkan hadits ini dikatakan hadits palsu oleh banyak ulama seperti Adz Dzahabi di Tartibul Maudhu’at (162, 183), Ash Shaghani dalam Al Maudhu’at (72), Ibnul Qayyim dalam Al Manaarul Munif (76), Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Tabyinul Ujab (20).

Hadits 9

من فطر صائما على طعام وشراب من حلال صلت عليه الملائكة في ساعات شهر رمضان وصلى عليه جبرائيل ليلة القدر

“Barangsiapa memberi hidangan berbuka puasa dengan makanan dan minuman yang halal, para malaikat bershalawat kepadanya selama bulan Ramadhan dan Jibril bershalawat kepadanya di malam lailatul qadar.”

Hadist ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (1/300), Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1441), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Adh Dhuafa (3/318), Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (1/152)

Hadits ini didhaifkan oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhuat (2/555), As Sakhawi dalam Maqasidul Hasanah (495), Al Albani dalam Dhaif At Targhib (654)

Yang benar,orang yang memberikan hidangan berbuka puasa akan mendapatkan pahala puasa orang yang diberi hidangan tadi, berdasarkan hadits:

من فطر صائما كان له مثل أجره ، غير أنه لا ينقص من أجر الصائم شيئا

“Siapa saja yang memberikan hidangan berbuka puasa kepada orang lain yang berpuasa, ia akan mendapatkan pahala orang tersebut tanpa sedikitpun mengurangi pahalanya.” (HR. At Tirmidzi no 807, ia berkata: “Hasan shahih”)

Hadits 10

رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر . قالوا : وما الجهاد الأكبر ؟ قال : جهاد القلب

“Kita telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar.” Para sahabat bertanya: “Apakah jihad yang besar itu?” Beliau bersabda: “Jihadnya hati melawan hawa nafsu.”

Menurut Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (2/6) hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Az Zuhd. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Takhrijul Kasyaf (4/114) juga mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh An Nasa’i dalam Al Kuna.

Hadits ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam di Majmu Fatawa (11/197), juga oleh Al Mulla Ali Al Qari dalam Al Asrar Al Marfu’ah (211). Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (2460) mengatakan hadits ini Munkar.

Hadits ini sering dibawakan para khatib dan dikaitkan dengan Ramadhan, yaitu untuk mengatakan bahwa jihad melawan hawa nafsu di bulan Ramadhan lebih utama dari jihad berperang di jalan Allah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya. Tidak ada seorang pun ulama hadits yang berangapan seperti ini, baik dari perkataan maupun perbuatan Nabi. Selain itu jihad melawan orang kafir adalah amal yang paling mulia. Bahkan jihad yang tidak wajib pun merupakan amalan sunnah yang paling dianjurkan.” (Majmu’ Fatawa, 11/197). Artinya, makna dari hadits palsu ini pun tidak benar karena jihad berperang di jalan Allah adalah amalan yang paling mulia. Selain itu, orang yang terjun berperang di jalan Allah tentunya telah berhasil mengalahkan hawa nafsunya untuk meninggalkan dunia dan orang-orang yang ia sayangi.

Hadits 11

قال وائلة : لقيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عيد فقلت : تقبل الله منا ومنك ، قال : نعم تقبل الله منا ومنك

“Wa’ilah berkata, “Aku bertemu dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada hari Ied, lalu aku berkata: Taqabbalallahu minna wa minka.” Beliau bersabda: “Ya, Taqabbalallahu minna wa minka.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (2/319), Al Baihaqi dalam Sunan-nya (3/319), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (3/1246)

Hadits ini didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhuafa (7/524), oleh Ibnu Qaisirani dalam Dzakiratul Huffadz (4/1950), oleh Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (5666).

Yang benar, ucapan ‘Taqabbalallahu Minna Wa Minka’ diucapkan sebagian sahabat berdasarkan sebuah riwayat:

كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا التقوا يوم العيد يقول بعضهم لبعض : تقبل الله منا ومنك

Artinya:
“Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya ketika saling berjumpa di hari Ied mereka mengucapkan: Taqabbalallahu Minna Wa Minka (Semoga Allah menerima amal ibadah saya dan amal ibadah Anda)”

Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al Mughni (3/294), dishahihkan oleh Al Albani dalam Tamamul Minnah (354). Oleh karena itu, boleh mengamalkan ucapan ini, asalkan tidak diyakini sebagai hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.

Hadits 12

خمس تفطر الصائم ، وتنقض الوضوء : الكذب ، والغيبة ، والنميمة ، والنظر بالشهوة ، واليمين الفاجرة

“Lima hal yang membatalkan puasa dan membatalkan wudhu: berbohong, ghibah, namimah, melihat lawan jenis dengan syahwat, dan bersumpah palsu.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Jauraqani di Al Abathil (1/351), oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131)

Hadits ini adalah hadits palsu, sebagaimana dijelaskan Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131), Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (1708).

Yang benar, lima hal tersebut bukanlah pembatal puasa, namun pembatal pahala puasa. Sebagaimana hadits:

من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل ، فليس لله حاجة أن يدع طعامه وشرابه

“Orang yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, serta mengganggu orang lain, maka Allah tidak butuh terhadap puasanya.” (HR. Bukhari, no.6057)

Demikian, semoga Allah memberi kita taufiq untuk senantiasa berpegang teguh pada ajaran Islam yang sahih. Mudah-mudahan Allah melimpahkan rahmat dan ampunannya kepada kita di bulan mulia ini. Semoga amal-ibadah di bulan suci ini kita berbuah pahala di sisi Rabbuna Jalla Sya’nuhu.

وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

***

Disusun oleh: Yulian Purnama
Muraja’ah: Ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar

sumber: www.muslim.or.id

Amalan di Bulan Rajab

Photobucket

Segala puji bagi Allah Rabb Semesta Alam, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan para pengikut beliau hingga akhir zaman. Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah Ta’ala karena pada saat ini kita telah memasuki salah satu bulan haram yaitu bulan Rajab. Apa saja yang ada di balik bulan Rajab dan apa saja amalan di dalamnya? Insya Allah dalam artikel yang singkat ini, kita akan membahasnya. Semoga Allah memberi taufik dan kemudahan untuk menyajikan pembahasan ini di tengah-tengah pembaca sekalian.

Rajab di Antara Bulan Haram

Bulan Rajab terletak antara bulan Jumadil Akhir dan bulan Sya’ban. Bulan Rajab sebagaimana bulan Muharram termasuk bulan haram. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (Qs. At Taubah: 36)

Ibnu Rajab mengatakan, “Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal.

Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perpuataran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.” (Latho-if Al Ma’arif, 202)

Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

“Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)

Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab.

Di Balik Bulan Haram

Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, “Dinamakan bulan haram karena dua makna.

Pertama,
pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.

Kedua
, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.” (Lihat Zaadul Maysir, tafsir surat At Taubah ayat 36)

Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.” (Latho-if Al Ma’arif, 214)

Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Latho-if Al Ma’arif, 207)

Bulan Haram Mana yang Lebih Utama?

Para ulama berselisih pendapat tentang manakah di antara bulan-bulan haram tersebut yang lebih utama. Ada ulama yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Rajab, sebagaimana hal ini dikatakan oleh sebagian ulama Syafi’iyah. Namun An Nawawi (salah satu ulama besar Syafi’iyah) dan ulama Syafi’iyah lainnya melemahkan pendapat ini. Ada yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Muharram, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri dan pendapat ini dikuatkan oleh An Nawawi. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Dzulhijjah. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair dan lainnya, juga dinilai kuat oleh Ibnu Rajab dalam Latho-if Al Ma’arif (hal. 203).

Hukum yang Berkaitan Dengan Bulan Rajab

Hukum yang berkaitan dengan bulan Rajab amatlah banyak, ada beberapa hukum yang sudah ada sejak masa Jahiliyah. Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap berlaku ketika datang Islam ataukah tidak. Di antaranya adalah haramnya peperangan ketika bulan haram (termasuk bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap diharamkan ataukah sudah dimansukh (dihapus hukumnya). Mayoritas ulama menganggap bahwa hukum tersebut sudah dihapus. Ibnu Rajab mengatakan, “Tidak diketahui dari satu orang sahabat pun bahwa mereka berhenti berperang pada bulan-bulan haram, padahal ada faktor pendorong ketika itu. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sepakat tentang dihapusnya hukum tersebut.” (Lathoif Al Ma’arif, 210)

Begitu juga dengan menyembelih (berkurban). Di zaman Jahiliyah dahulu, orang-orang biasa melakukan penyembelihan kurban pada tanggal 10 Rajab, dan dinamakan ‘atiiroh atau Rojabiyyah (karena dilakukan pada bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ‘atiiroh sudah dibatalkan oleh Islam ataukah tidak. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa ‘atiiroh sudah dibatalkan hukumnya dalam Islam. Hal ini berdasarkan hadits Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ فَرَعَ وَلاَ عَتِيرَةَ

“Tidak ada lagi faro’ dan ‘atiiroh.” (HR. Bukhari no. 5473 dan Muslim no. 1976). Faro’ adalah anak pertama dari unta atau kambing, lalu dipelihara dan nanti akan disembahkan untuk berhala-berhala mereka.

Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Tidak ada lagi ‘atiiroh dalam Islam. ‘Atiiroh hanya ada di zaman Jahiliyah. Orang-orang Jahiliyah biasanya berpuasa di bulan Rajab dan melakukan penyembelihan ‘atiiroh pada bulan tersebut. Mereka menjadikan penyembelihan pada bulan tersebut sebagai ‘ied (hari besar yang akan kembali berulang) dan juga mereka senang untuk memakan yang manis-manis atau semacamnya ketika itu.” Ibnu ‘Abbas sendiri tidak senang menjadikan bulan Rajab sebagai ‘ied.

‘Atiiroh sering dilakukan berulang setiap tahunnya sehingga menjadi ‘ied (sebagaimana Idul Fitri dan Idul Adha), padahal ‘ied (perayaan) kaum muslimin hanyalah Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Dan kita dilarang membuat ‘ied selain yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam. Ada sebuah riwayat,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَنْهَى عَن صِيَامِ رَجَبٍ كُلِّهِ ، لِاَنْ لاَ يَتَّخِذَ عِيْدًا.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada seluruh hari di bulan Rajab agar tidak dijadikan sebagai ‘ied.” (HR. ‘Abdur Rozaq, hanya sampai pada Ibnu ‘Abbas (mauquf). Dikeluarkan pula oleh Ibnu Majah dan Ath Thobroniy dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’, yaitu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Intinya, tidaklah dibolehkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan suatu hari sebagai ‘ied selain apa yang telah dikatakan oleh syari’at Islam sebagai ‘ied yaitu Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Tiga hari ini adalah hari raya dalam setahun. Sedangkan ‘ied setiap pekannya adalah pada hari Jum’at. Selain hari-hari tadi, jika dijadikan sebagai ‘ied dan perayaan, maka itu berarti telah berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam Islam (alias bid’ah).” (Latho-if Al Ma’arif, 213)

Hukum lain yang berkaitan dengan bulan Rajab adalah shalat dan puasa.

Mengkhususkan Shalat Tertentu dan Shalat Roghoib di bulan Rajab

Tidak ada satu shalat pun yang dikhususkan pada bulan Rajab, juga tidak ada anjuran untuk melaksanakan shalat Roghoib pada bulan tersebut.

Shalat Roghoib atau biasa juga disebut dengan shalat Rajab adalah shalat yang dilakukan di malam Jum’at pertama bulan Rajab antara shalat Maghrib dan Isya. Di siang harinya sebelum pelaksanaan shalat Roghoib (hari kamis pertama bulan Rajab) dianjurkan untuk melaksanakan puasa sunnah. Jumlah raka’at shalat Roghoib adalah 12 raka’at. Di setiap raka’at dianjurkan membaca Al Fatihah sekali, surat Al Qadr 3 kali, surat Al Ikhlash 12 kali. Kemudian setelah pelaksanaan shalat tersebut dianjurkan untuk membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak 70 kali.

Di antara keutamaan yang disebutkan pada hadits yang menjelaskan tata cara shalat Raghaib adalah dosanya walaupun sebanyak buih di lautan akan diampuni dan bisa memberi syafa’at untuk 700 kerabatnya. Namun hadits yang menerangkan tata cara shalat Roghoib dan keutamaannya adalah hadits maudhu’ (palsu). Ibnul Jauzi meriwayatkan hadits ini dalam Al Mawdhu’aat (kitab hadits-hadits palsu).

Ibnul Jauziy rahimahullah mengatakan, “Sungguh, orang yang telah membuat bid’ah dengan membawakan hadits palsu ini sehingga menjadi motivator bagi orang-orang untuk melakukan shalat Roghoib dengan sebelumnya melakukan puasa, padahal siang hari pasti terasa begitu panas. Namun ketika berbuka mereka tidak mampu untuk makan banyak. Setelah itu mereka harus melaksanakan shalat Maghrib lalu dilanjutkan dengan melaksanakan shalat Raghaib. Padahal dalam shalat Raghaib, bacaannya tasbih begitu lama, begitu pula dengan sujudnya. Sungguh orang-orang begitu susah ketika itu. Sesungguhnya aku melihat mereka di bulan Ramadhan dan tatkala mereka melaksanakan shalat tarawih, kok tidak bersemangat seperti melaksanakan shalat ini?! Namun shalat ini di kalangan awam begitu urgent. Sampai-sampai orang yang biasa tidak hadir shalat Jama’ah pun ikut melaksanakannya.” (Al Mawdhu’aat li Ibnil Jauziy, 2/125-126)

Shalat Roghoib ini pertama kali dilaksanakan di Baitul Maqdis, setelah 480 Hijriyah dan tidak ada seorang pun yang pernah melakukan shalat ini sebelumnya. (Al Bida’ Al Hawliyah, 242)

Ath Thurthusi mengatakan, “Tidak ada satu riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ini. Shalat ini juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, para tabi’in, dan salafush sholeh –semoga rahmat Allah pada mereka-.” (Al Hawadits wal Bida’, hal. 122. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 242)

Mengkhususkan Berpuasa di Bulan Rajab

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun mengkhususkan bulan Rajab dan Sya’ban untuk berpuasa pada seluruh harinya atau beri’tikaf pada waktu tersebut, maka tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat mengenai hal ini. Juga hal ini tidaklah dianjurkan oleh para ulama kaum muslimin. Bahkan yang terdapat dalam hadits yang shahih (riwayat Bukhari dan Muslim) dijelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Dan beliau dalam setahun tidaklah pernah banyak berpuasa dalam satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban, jika hal ini dibandingkan dengan bulan Ramadhan.

Adapun melakukan puasa khusus di bulan Rajab, maka sebenarnya itu semua adalah berdasarkan hadits yang seluruhnya lemah (dho’if) bahkan maudhu’ (palsu). Para ulama tidaklah pernah menjadikan hadits-hadits ini sebagai sandaran. Bahkan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya adalah hadits yang maudhu’ (palsu) dan dusta.”(Majmu’ Al Fatawa, 25/290-291)

Bahkan telah dicontohkan oleh para sahabat bahwa mereka melarang berpuasa pada seluruh hari bulan Rajab karena ditakutkan akan sama dengan puasa di bulan Ramadhan, sebagaimana hal ini pernah dicontohkan oleh ‘Umar bin Khottob. Ketika bulan Rajab, ‘Umar pernah memaksa seseorang untuk makan (tidak berpuasa), lalu beliau katakan,

لَا تُشَبِّهُوهُ بِرَمَضَانَ

“Janganlah engkau menyamakan puasa di bulan ini (bulan Rajab) dengan bulan Ramadhan.” (Riwayat ini dibawakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 25/290 dan beliau mengatakannya shahih. Begitu pula riwayat ini dikatakan bahwa sanadnya shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)

Adapun perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpuasa di bulan-bulan haram yaitu bulan Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, maka ini adalah perintah untuk berpuasa pada empat bulan tersebut dan beliau tidak mengkhususkan untuk berpuasa pada bulan Rajab saja. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 25/291)

Imam Ahmad mengatakan, “Sebaiknya seseorang tidak berpuasa (pada bulan Rajab) satu atau dua hari.” Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Aku tidak suka jika ada orang yang menjadikan menyempurnakan puasa satu bulan penuh sebagaimana puasa di bulan Ramadhan.” Beliau berdalil dengan hadits ‘Aisyah yaitu ‘Aisyah tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh pada bulan-bulan lainnya sebagaimana beliau menyempurnakan berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan. (Latho-if Ma’arif, 215)

Ringkasnya, berpuasa penuh di bulan Rajab itu terlarang jika memenuhi tiga point berikut:

Jika dikhususkan berpuasa penuh pada bulan tersebut, tidak seperti bulan lainnya sehingga orang-orang awam dapat menganggapnya sama seperti puasa Ramadhan.
Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut adalah puasa yang dikhususkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sunnah rawatib (sunnah yang mengiringi amalan yang wajib).
Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut memiliki keutamaan pahala yang lebih dari puasa di bulan-bulan lainnya. (Lihat Al Hawadits wal Bida’, hal. 130-131. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 235-236)

Perayaan Isro’ Mi’roj

Sebelum kita menilai apakah merayakan Isro’ Mi’roj ada tuntunan dalam agama ini ataukah tidak, perlu kita tinjau terlebih dahulu, apakah Isro’ Mi’roj betul terjadi pada bulan Rajab?

Perlu diketahui bahwa para ulama berselisih pendapat kapan terjadinya Isro’ Mi’roj. Ada ulama yang mengatakan pada bulan Rajab. Ada pula yang mengatakan pada bulan Ramadhan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak ada dalil yang tegas yang menyatakan terjadinya Isro’ Mi’roj pada bulan tertentu atau sepuluh hari tertentu atau ditegaskan pada tanggal tertentu. Bahkan sebenarnya para ulama berselisih pendapat mengenai hal ini, tidak ada yang bisa menegaskan waktu pastinya.” (Zaadul Ma’ad, 1/54)

Ibnu Rajab mengatakan, “Telah diriwayatkan bahwa di bulan Rajab ada kejadian-kejadian yang luar biasa. Namun sebenarnya riwayat tentang hal tersebut tidak ada satu pun yang shahih. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau dilahirkan pada awal malam bulan tersebut. Ada pula yang menyatakan bahwa beliau diutus pada 27 Rajab. Ada pula yang mengatakan bahwa itu terjadi pada 25 Rajab. Namun itu semua tidaklah shahih.”

Abu Syamah mengatakan, “Sebagian orang menceritakan bahwa Isro’ Mi’roj terjadi di bulan Rajab. Namun para pakar Jarh wa Ta’dil (pengkritik perowi hadits) menyatakan bahwa klaim tersebut adalah suatu kedustaan.” (Al Bida’ Al Hawliyah, 274)

Setelah kita mengetahui bahwa penetapan Isro’ Mi’roj sendiri masih diperselisihkan, lalu bagaimanakah hukum merayakannya?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak dikenal dari seorang dari ulama kaum muslimin yang menjadikan malam Isro’ memiliki keutamaan dari malam lainnya, lebih-lebih dari malam Lailatul Qadr. Begitu pula para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik tidak pernah mengkhususkan malam Isro’ untuk perayaan-perayaan tertentu dan mereka pun tidak menyebutkannya. Oleh karena itu, tidak diketahui tanggal pasti dari malam Isro’ tersebut.” (Zaadul Ma’ad, 1/54)

Begitu pula Syaikhul Islam mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu idul fithri dan idul adha, pen) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab (perayaan Isro’ Mi’roj), hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan Idul Abror (ketupat lebaran)-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/298)

Ibnul Haaj mengatakan, “Di antara ajaran yang tidak ada tuntunan yang diada-adakan di bulan Rajab adalah perayaan malam Isro’ Mi’roj pada tanggal 27 Rajab.” (Al Bida’ Al Hawliyah, 275)

Catatan penting:

Banyak tersebar di tengah-tengah kaum muslimin sebuah riwayat dari Anas bin Malik. Beliau mengatakan, “Ketika tiba bulan Rajab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengucapkan,

“Allahumma baarik lanaa fii Rojab wa Sya’ban wa ballignaa Romadhon [Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya'ban dan perjumpakanlah kami dengan bulan Ramadhan]“.”

Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Suniy dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah. Namun perlu diketahui bahwa hadits ini adalah hadits yang lemah (hadits dho’if) karena di dalamnya ada perowi yang bernama Zaidah bin Abi Ar Ruqod. Zaidah adalah munkarul hadits (banyak keliru dalam meriwayatkan hadits) sehingga hadits ini termasuk hadits dho’if. Hadits ini dikatakan dho’if (lemah) oleh Ibnu Rajab dalam Lathoif Ma’arif (218), Syaikh Al Albani dalam tahqiq Misykatul Mashobih (1369), dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Imam Ahmad.

Demikian pembahasan kami mengenai amalan-amalan di bulan Rajab dan beberapa amalan yang keliru yang dilakukan di bulan tersebut. Semoga Allah senantiasa memberi taufik dan hidayah kepada kaum muslimin. Semoga Allah menunjuki kita ke jalan kebenaran.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Allahumma sholli ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Selesai disusun di Wisma MTI, 5 Rajab 1430 H

***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Meninjau Ritual Malam Nishfu Sya’ban

Photobucket

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Di sebagian kalangan masyarakat masih tersebar ritual-ritual di malam Nishfu Sya’ban, entah dengan shalat atau berdo’a secara berjama’ah. Sebenarnya amalan ini muncul karena dorongan yang terdapat dalam berbagai hadits yang menceritakan tentangkeutamaan malam tersebut. Lalu bagaimanakah derajat hadits yang dimaksud? Benarkah ada amalan tertentu ketika itu? Semoga tulisan kali ini bisa menjawabnya.

Meninjau Hadits Keutamaan Malam Nishfu Sya’ban

Penulis Tuhfatul Ahwadzi (Abul ‘Alaa Al Mubarokfuri) telah menyebutkan satu per satu hadits yang membicarakan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Awalnya beliau berkata, “Ketahuilah bahwa telah terdapat beberapa hadits mengenai keutamaan malam Nishfu Sya’ban, keseluruhannya menunjukkan bahwa hadits tersebut tidak ada ashl-nya (landasannya).” Lalu beliau merinci satu per satu hadits yang dimaksud.

Pertama: Hadits Abu Musa Al Asy’ari, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِى لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ

“Sesungguhnya Allah akan menampakkan (turun) di malam Nishfu Sya’ban kemudian mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik atau orang yang bermusuhan dengan saudaranya.” (HR. Ibnu Majah no. 1390). Penulis Tuhfatul Ahwadzi berkata, “Hadits ini munqothi’ (terputus sanadnya).” [Berarti hadits tersebut dho’if].

Kedua: Hadits ‘Aisyah, ia berkata,

قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّى فَأَطَالَ السُّجُودَ حَتَّى ظَنَنْت أَنَّهُ قَدْ قُبِضَ ، فَلَمَّا رَأَيْت ذَلِكَ قُمْت حَتَّى حَرَّكْت إِبْهَامَهُ فَتَحَرَّكَ فَرَجَعَ ، فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ السُّجُودِ وَفَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ قَالَ : ” يَا عَائِشَةُ أَوْ يَا حُمَيْرَاءُ أَظَنَنْت أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ خَاسَ بِك ؟ ” قُلْت : لَا وَاَللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَكِنِّي ظَنَنْت أَنْ قُبِضْت طُولَ سُجُودِك ، قَالَ ” أَتَدْرِي أَيَّ لَيْلَةٍ هَذِهِ ؟ ” قُلْت : اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ، قَالَ : ” هَذِهِ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَطَّلِعُ عَلَى عِبَادِهِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُسْتَغْفِرِينَ وَيَرْحَمُ الْمُسْتَرْحِمِينَ وَيُؤَخِّرُ أَهْلَ الْحِقْدِ كَمَا هُمْ

“Suatu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat malam, beliau shalat dan memperlama sujud sampai aku menyangka bahwa beliau telah tiada. Tatkala aku memperhatikan hal itu, aku bangkit sampai aku pun menggerakkan ibu jarinya. Beliau pun bergerak dan kembali. Ketika beliau mengangkat kepalanya dari sujud dan merampungkan shalatnya, beliau mengatakan, “Wahai ‘Aisyah (atau Wahai Humairo’), apakah kau sangka bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianatimu?” Aku menjawab, “Tidak, demi Allah. Wahai Rasulullah, akan tetapi aku sangka engkau telah tiada karena sujudmu yang begitu lama.” Beliau berkata kembali, “Apakah engkau tahu malam apakah ini?” Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau berkata, “Malam ini adalah malam Nishfu Sya’ban. Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla turun pada hamba-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, lantas Dia akan memberi ampunan ampunan pada orang yang meminta ampunan dan akan merahmati orang yang memohon rahmat, Dia akan menjauh dari orang yang pendendam.” Dikeluarkan oleh Al Baihaqi. Ia katakan bahwa riwayat ini mursal jayyid. Kemungkinan pula bahwa Al ‘Alaa’ mengambilnya dari Makhul. [Hadits mursal adalah hadits yang dho’if karena terputus sanadnya]

Ketiga: Hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

يَطَّلِعُ اللَّهُ إِلَى جَمِيعِ خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ

“Allah mendatangi seluruh makhluk-Nya pada malam Nishfu Sya’ban. Dia pun mengampuni seluruh makhluk kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.”Al Mundziri dalam At Targhib setelah menyebutkan hadits ini, beliau mengatakan, “Dikeluarkan oleh At Thobroni dalam Al Awsath dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya dan juga oleh Al Baihaqi. Ibnu Majah pun mengeluarkan hadits dengan lafazh yang sama dari hadits Abu Musa Al Asy’ari. Al Bazzar dan Al Baihaqi mengeluarkan yang semisal dari Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dengan sanad yang tidak mengapa.” Demikian perkataan Al Mundziri. Penulis Tuhfatul Ahwadzi lantas mengatakan, “Pada sanad hadits Abu Musa Al Asy’ari yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah terdapat Lahi’ah dan dia dinilai dho’if.” [Hadits ini adalah hadits yang dho’if]

Keempat: Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَطَّلِعُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِعِبَادِهِ إِلَّا اِثْنَيْنِ مُشَاحِنٍ وَقَاتِلِ نَفْسٍ

“Allah ‘azza wa jalla mendatangi makhluk-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, Dia mengampuni hamba-hamba-Nya kecuali dua orang yaitu orang yang bermusuhan dan orang yang membunuh jiwa.” Al Mundziri mengatakan, “Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad dengan sanad yang layyin (ada perowi yang diberi penilaian negatif/ dijarh, namun haditsnya masih dicatat).” [Berarti hadits ini bermasalah].

Kelima: Hadits Makhul dari Katsir bin Murroh, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda di malam Nishfu Sya’ban,

يَغْفِرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لِأَهْلِ الْأَرْضِ إِلَّا مُشْرِكٌ أَوْ مُشَاحِنٌ

“Allah ‘azza wa jalla mengampuni penduduk bumi kecuali musyrik dan orang yang bermusuhan”. Al Mundziri berkata, “Hadits ini dikeluarkan oleh Al Baihaqi, hadits ini mursal jayyid.” [Berarti dho’if karena haditsnya mursal, ada sanad yang terputus]. Al Mundziri juga berkata, “Dikeluarkan pula oleh Ath Thobroni dan juga Al Baihaqi dari Makhul, dari Abu Tsa’labah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَطَّلِعُ اللَّهُ إِلَى عِبَادِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِينَ وَيُمْهِلُ الْكَافِرِينَ وَيَدَعُ أَهْلَ الْحِقْدِ بِحِقْدِهِمْ حَتَّى يَدَعُوهُ

“Allah mendatangi para hamba-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, Dia akan mengampuni orang yang beriman dan menangguhkan orang-orang kafir, Dia meninggalkan orang yang pendendam.” Al Baihaqi mengatakan, “Hadits ini juga antara Makhul dan Abu Tsa’labah adalah mursal jayyid”. [Berarti hadits ini pun dho’if].

Keenam: Hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ أَلَا مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلَّا مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلَا كَذَا أَلَا كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ

“Apabila malam nisfu Sya’ban, maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya. Sesungguhnya Allah turun ke langit bumi pada saat itu ketika matahari terbenam, kemudian Dia berfirman: “Adakah orang yang meminta ampun kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya? Adakah orang yang meminta rizki maka Aku akan memberinya rizki? Adakah orang yang mendapat cobaan maka Aku akan menyembuhkannya? Adakah yang begini, dan adakah yang begini, hingga terbit fajar.” Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan dalam sanadnya terdapat Abu Bakr bin ‘Abdillah bin Muhammad bin Abi Saburoh Al Qurosyi Al ‘Aamiri Al Madani. Ada yang menyebut namanya adalah ‘Abdullah, ada yang mengatakan pula Muhammad. Disandarkan pada kakeknya bahwa ia dituduh memalsukan hadits, sebagaimana disebutkan dalam At Taqrib. Adz Dzahabi dalam Al Mizan mengatakan, “Imam Al Bukhari dan ulama lainnya mendho’ifkannya”. Anak Imam Ahmad, ‘Abdullah dan Sholih, mengatakan dari ayahnya, yaitu Imam Ahmad berkata, “Dia adalah orang yang memalsukan hadits.” An Nasai mengatakan, “Ia adalah perowi yang matruk (dituduh dusta)”. [Berarti hadits ini di antara maudhu’ dan dho’if]

Penulis Tuhfatul Ahwadzi setelah meninjau riwayat-riwayat di atas, beliau mengatakan, “Hadits-hadits ini dilihat dari banyak jalannya bisa sebagai hujjah bagi orang yang mengklaim bahwa tidak ada satu pun hadits shahih yang menerangkan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Wallahu Ta’ala a’lam.”[1]

Keterangan Ulama Mengenai Kelemahan Hadits Keutamaan Malam Nishfu Sya’ban

Ibnu Rajab di beberapa tempat dalam kitabnya Lathoif Al Ma’arif memberikan tanggapan tentang hadits-hadits yang membicarakan keutamaan malam Nishfu Sya’ban.

Pertama: Mengenai hadits ‘Ali tentang keutamaan shalat dan puasa Nishfu Sya’ban, Ibnu Rajab mengatakan bahwa hadits tersebut dho’if.[2]

Kedua: Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Hadits yang menjelaskan keutamaan malam Nishfu Sya’ban ada beberapa. Para ulama berselisih pendapat mengenai statusnya. Kebanyakan ulama mendhoifkan hadits-hadits tersebut. Ibnu Hibban menshahihkan sebagian hadits tersebut dan beliau masukkan dalam kitab shahihnya.”[3] [Tanggapan kami, “Ibnu Hibban adalah di antara ulama yang dikenal mutasahil, yaitu orang yang bergampang-gampangan dalam menshahihkan hadits. Sehingga penshahihan dari sisi Ibnu Hibban perlu dicek kembali.”]

Ketiga: Mengenai menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat malam, Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Mengenai shalat malam di malam Nishfu Sya’ban, maka tidak ada satu pun dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga para sahabatnya. Namun terdapat riwayat dari sekelompok tabi’in (para ulama negeri Syam) yang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat.”[4]

Ada tanggapan bagus pula dari ulama belakangan, yaitu Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, ulama yang pernah menjabat sebagai Ketua Lajnah Ad Da’imah (komisi fatwa di Saudi Arabia). Beliau rahimahullah mengatakan, “Hadits yang menerangkan keutamaan malam nishfu Sya’ban adalah hadits-hadits yang lemah yang tidak bisa dijadikan sandaran. Adapun hadits yang menerangkan mengenai keutamaan shalat pada malam nishfu sya’ban, semuanya adalah berdasarkan hadits palsu (maudhu’). Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh kebanyakan ulama.”[5]

Begitu juga Syaikh Ibnu Baz menjelaskan, “Hadits dhoif barulah bisa diamalkan dalam masalah ibadah, jika memang terdapat penguat atau pendukung dari hadits yang shahih. Adapun untuk hadits tentang menghidupkan malam nishfu sya’ban, tidak ada satu dalil shahih pun yang bisa dijadikan penguat untuk hadits yang lemah tadi.”[6]

Memang sebagian ulama ada yang menshahihkan sebagian hadits yang telah dibahas oleh penulis Tuhfatul Ahwadzi. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah menshahihkan hadits Abu Musa Al Asy’ari di atas. Beliau rahimahullah menyatakan bahwa hadits tersebut shahih karena diriwayatkan dari banyak sahabat dari berbagai jalan yang saling menguatkan, yaitu dari sahabat Mu’adz bin Jabal, Abu Tsa’labah Al Khusyani, ‘Abdullah bin ‘Amru, Abu Musa Al Asy’ari, Abu Hurairah, Abu Bakr Ash Shifdiq, ‘Auf bin Malik dan ‘Aisyah. Lalu beliau rahimahullah perinci satu per satu masing-masing riwayat.[7]

Namun sebagaimana dijelaskan oleh Abul ‘Alaa Al Mubarakfuri, hadits Abu Musa Al Asy’ari adalah munqothi’ (terputus sanadnya). Hadits yang semisal itu pula tidak lepas dari kedho’ifan. Sehingga kami lebih cenderung pada pendapat yang dipegang oleh penulis Tuhfatul Ahwadzi tersebut. Ini serasa lebih menenangkan karena dipegang oleh kebanyakan ulama. Itulah mengapa beliau, penulis Tuhfatul Ahwadzi memberi kesimpulan terakhir bahwa tidak ada hadits yang shahih yang membicarakan keutamaan bulan Sya’ban. Wallahu a’lam bish showab.

Pendapat Ulama Mengenai Menghidupkan Malam Nishfu Sya’ban

Mayoritas fuqoha berpendapat dianjurkannya menghidupkan malam nishfu sya’ban. Dasar dari hal ini adalah hadits dho’if yang telah diterangkan di atas, yaitu dari Abu Musa Al Asy’ari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِى لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ

“Sesungguhnya Allah akan menampakkan (turun) di malam nishfu Sya’ban kemudian mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik atau orang yang bermusuhan dengan saudaranya.” (HR. Ibnu Majah no. 1390). Dan juga beberapa hadits dho’if lainnya jadi pegangan semacam hadits dari ‘Ali bin Abi Tholib.

Imam Al Ghozali menjelaskan tata cara tertentu dalam menghidupkan malam nishfu sya’ban dengan tata cara yang khusus. Namun ulama Syafi’iyah mengingkari tata cara yang dimaksudkan, ulama Syafi’iyah menganggapnya sebagai bid’ah qobihah (bid’ah yang jelek).

Sedangkan Ats Tsauri mengatakan bahwa shalat Nishfu Sya’ban adalah bid’ah yang dibuat-buat yang qobihah (jelek) dan mungkar.

Mayoritas fuqoha memakruhkan menghidupkan malam nishfu Sya’ban secara berjama’ah. Ada pendapat yang tegas dari ulama Hanafiyah dan Malikiyah dalam hal ini, mereka menganggap menghidupkan malam Nishfu Sya’ban secara berjama’ah adalah bid’ah. Para ulama yang juga melarang hal ini adalah Atho’ ibnu Abi Robbah, dan Ibnu Abi Malikah.

Adapun Al Auza’i, beliau berpendapat bahwa menghidupkan malam nishfu sya’ban secara berjama’ah dengan shalat jama’ah di masjid adalah suatu yang dimakruhkan. Alasannya, menghidupkan dengan berjama’ah semacam ini tidak dinukil dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula dari seorang sahabat pun.

Sedangkan Kholid bin Mi’dan, Luqman bin ‘Amir, Ishaq bin Rohuyah menyunnahkan menghidupkan malam nishfu sya’ban secara berjama’ah.[8]

Apabila kita melihat dari berbagai pendapat di atas, jika ulama tersebut menganggap dianjurkannya menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, maka ada dua cara untuk menghidupkannya.

Pertama, dianjurkan menghidupkan secara berjama’ah di masjid dengan melaksanakan shalat, membaca kisah-kisah atau berdo’a. Menghidupkan malam Nishfu Sya’ban semacam ini terlarang menurut mayoritas ulama.

Kedua, dianjurkan menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, namun tidak secara berjama’ah, hanya seorang diri. Inilah pendapat salah seorang ulama negeri Syam, yaitu Al Auza’i. Pendapat ini dipilih pula oleh Ibnu Rajab Al Hambali dalam Lathoif Al Ma’arif.[9]

Ibnu Taimiyah ketika ditanya mengenai shalat Nishfu Sya’ban, beliau rahimahullah menjawab, “Jika seseorang shalat pada malam nishfu sya’ban sendiri atau di jama’ah yang khusus sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian salaf, maka itu suatu hal yang baik. Adapun jika dilakukan dengan kumpul-kumpul di masjid untuk melakukan shalat dengan bilangan tertentu, seperti berkumpul dengan mengerjakan shalat 1000 raka’at, dengan membaca surat Al Ikhlas terus menerus sebanyak 1000 kali, ini jelas suatu perkara bid’ah, yang sama sekali tidak dianjurkan oleh para ulama.”[10]

Ibnu Taimiyah juga mengatakan, “Adapun tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban terdapat beberapa hadits dan atsar, juga ada nukilan dari beberapa ulama salaf bahwa mereka melaksanakan shalat pada malam tersebut. Jika seseorang melakukan shalat seorang diri ketika itu, maka ini telah ada contohnya di masa lalu dari beberapa ulama salaf. Inilah dijadikan sebagai hujjah sehingga tidak perlu diingkari.”[11]

Setelah menyebutkan perkataan Ibnu Rajab dalam Lathoif Al Ma’arif, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz pun lantas mengomentari pendapat Al Auza’i dan Ibnu Rajab. Beliau rahimahullah mengatakan, “Dalam perkataan Ibnu Rajab sendiri terdapat kata tegas bahwa tidak ada satu pun dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang shahih tentang malam Nishfu Sya’ban. Adapun pendapat yang dipilih oleh Al Auza’i rahimahullah mengenai dianjurkannya ibadah sendirian (bukan berjama’ah) dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Rajab, maka ini adalah pendapat yang aneh dan lemah. Karena sesuatu yang tidak ada landasan dalilnya sama sekali, maka tidak boleh bagi seorang muslim mengada-adakan suatu ibadah ketika itu, baik secara sendiri atau berjama’ah, baik pula secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan.”[12]

Malam Nishfu Sya’ban Sama Seperti Malam Lainnya


Dalam masalah ini, jika memang kita memilih pendapat mayoritas ulama yang berpendapat bolehnya menghidupkan malam nishfu sya’ban, maka sebaiknya tidak dilakukan secara berjama’ah baik dengan shalat ataupun dengan membaca secara berjama’ah do’a malam nishfu sya’ban. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama.

Sedangkan bagaimanakah menghidupkan malam tersebut secara sendiri-sendiri atau dengan jama’ah tersendiri? Jawabnya, sebagian ulama membolehkan hal ini. Namun yang lebih menenangkan hati kami, tidak perlu malam Nishfu Sya’ban diistimewakan dari malam-malam lainnya. Karena sekali lagi, dasar yang dibangun dalam masalah keutamaan malam nishfu Sya’ban dan shalatnya adalah dalil-dalil yang lemah atau hanya dari riwayat tabi’in saja, tidak ada hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar sahabat yang shahih yang menerangkan hal ini.

Jadi di sini bukan maksud kami adalah tidak perlu melaksanakan shalat di malam Nishfu Sya’ban. Bukan sama sekali. Maksud kami adalah jangan khususkan malam Nishfu Sya’ban lebih dari malam-malam lainnya.

Perkataan yang amat bagus dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, beliau rahimahullah mengatakan, “Malam Nishfu Sya’ban sebenarnya seperti malam-malam lainnya. Janganlah malam tersebut dikhususkan dengan shalat tertentu. Jangan pula mengkhususkan puasa tertentu ketika itu. Namun catatan yang perlu diperhatikan, kami sama sekali tidak katakan, “Barangsiapa yang biasa bangun shalat malam, janganlah ia bangun pada malam Nishfu Sya’ban. Atau barangsiapa yang biasa berpuasa pada ayyamul biid (tanggal 13, 14, 15 H), janganlah ia berpuasa pada hari Nishfu Sya’ban (15 Hijriyah).” Ingat, yang kami maksudkan adalah janganlah mengkhususkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat tertentu atau siang harinya dengan puasa tertentu.”[13]

Dalam hadits-hadits tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban disebutkan bahwa Allah akan mendatangi hamba-Nya atau akan turun ke langit dunia. Perlu diketahui bahwa turunnya Allah di sini tidak hanya pada malam Nishfu Sya’ban. Sebagaimana disebutkan dalam Bukhari-Muslim bahwa Allah turun ke langit dunia pada setiap 1/3 malam terakhir, bukan pada malam Nishfu Sya’ban saja. Oleh karenanya, sebenarnya keutamaan malam Nishfu Sya’ban sudah masuk pada keumuman malam, jadi tidak perlu diistimewakan.
‘Abdullah bin Al Mubarok pernah ditanya mengenai turunnya Allah pada malam Nishfu Sya’ban, lantas beliau pun memberi jawaban pada si penanya, “Wahai orang yang lemah! Yang engkau maksudkan adalah malam Nishfu Sya’ban?! Perlu engkau tahu bahwa Allah itu turun di setiap malam (bukan pada malam Nishfu Sya’ban saja, -pen).” Dikeluarkan oleh Abu ‘Utsman Ash Shobuni dalam I’tiqod Ahlis Sunnah (92).
Al ‘Aqili rahimahullah mengatakan, “Mengenai turunnya Allah pada malam Nishfu Sya’ban, maka hadits-haditsnya itu layyin (menuai kritikan). Adapun riwayat yang menerangkan bahwa Allah akan turun setiap malam, itu terdapat dalam berbagai hadits yang shahih. Ketahuilah bahwa malam Nishfu Sya’ban itu sudah termasuk pada keumuman hadits semacam itu, insya Allah.” Disebutkan dalam Adh Dhu’afa’ (3/29).[14]

Semoga sajian ini bermanfaat untuk memperbaiki amal ibadah kita.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi wa tatimmush sholihaat.

Referensi:

Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, Asy Syamilah.
  1. Fatawa Al Islam Sual wa Jawab, Syaikh Sholih Al Munajjid, www.islamqa.com/ar.
  2. Lathoif Al Ma’arif fii Maa lii Mawaasimil ‘Aam minal Wazhoif, Ibnu Rajab Al Hambali, Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, 1428 H.
  3. Liqo’ Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin.
  4. Majmu’ Al Fatawa, Ahmad Ibnu Taimiyah,Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.
  5. Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, Mawqi’ Al Ifta’.
  6. Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jaami’ At Tirmidzi, Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim Al Mubarakfuri Abul ‘Alaa, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut.


Selesai disusun di Panggang-GK, 4 Sya’ban 1431 H (16/07/2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Misi Wanita Nashrani (Surat Seorang Wanita Nasrani di Malaysia) Bagian 7

Dalam suratnya kepada wanita muslimah di Indonesia, wanita Nasrani dari Malaysia itu menyebutkan syubhat berikut ini:

Oh ya al-Kitab diterjemahkan dalam berbagai bahasa supaya orang yang membacanya mengerti. Kalau gak tahu artinya mana bisa megerti. Kalau gak ngerti mana bisa dekat dengan Tuhan. Bagaimana?Jawab: Apa pandangan Anda seandainya saya katakana kepada Anda, bahwa tidak ada seorangpun di dunia ini yang memahami Bible. Karena Bible itu sebagiannya menghantam sebagian yang lain, dan sebagiannya berseberangan dengan sebagian yang lain. Dengan hanya sedikit usaha, dan perhatian terhadap Bible, akan menjadi jelas segala kontradiksinya dengan segenap kemudahan. Maka mustahil, bersamaan dengan keberadaan kontradiksi tersebut ada seseorang yang mampu memahaminya.

Selanjutnya, mustahil kalau Bible itu dari sisi Allah. Setiap orang berakal tahu bahwa kontradisi adalah bukti kebatilah. Jika tidak demikian, maka dengan apa Anda akan menjelaskan penyebutan Bible bahwa bulan bersinar, dan dalam tempat lain menyebutkan bahwa bulan tidak bersinar. Lalu penyebutan bahwa Allah menciptakan cahaya pada hari keempat, sementara pada tempat lain pada hari pertama; pergi ke al-Quds, pada tempat lain, tidak pergi ke al-Quds; Luth adalah putra saudara Ibrahim, pada tempat lain Luth adalah saudara Ibrahim; Tuhan Peperangan, ditempat lain disebut Tuhan Perdamaian; Tuhan mencari dan tidak menemukannya, ditempat lain Tuhan mencari dan menemukannya; Yohannes tidak makan dan minum, ditempat lain Yohannes makan belalang dan madu; Yesus disalib jam tiga, ditempat lagi disalib jam enam; Mukjizat penangkapan ikan terjadi sebelum kebangkitan Yesus, ditempat lain disebutkan bahwa Mukjizat tersebut terjadi setelah kebangkitan Yesus; Yesus berkata, ‘maka kesaksian-Ku itu tidak benar,’ ditempat lain dia berkata, ‘"Biarpun Aku bersaksi tentang diri-Ku sendiri, namun kesaksian-Ku itu benar; dan seterusnya…

Ini adalah beberapa contoh dari ratusan contoh untuk menetapkan kontradiksi Bible. Inilah yang saya maksud bahwa tidak ditemukan seorangpun yang bisa memahami Bible sekalipun mereka mengeklaimnya dengan dusta. Dan bahwa Anda tidak akan mendapati satu rumah tanggapun yang menjawab dengan satu jawaban sama jika mereka ditanya tentang makna Trinitas (Tuhan Bapak, Tuhan Anak dan Roh Kudus). Bahkan para pendeta sekalipun, jika mereka ingin menjelaskan makna Trinitas, maka masing-masing memliki cara sendiri dalam menjelaskannya dengan menggunakan logika; mereka memulai dan menyelesaikannya dengan satu hasil, yaitu penjelasan yang tidak jelas.

Oleh karena itulah, saat kami menyebut Kontradiksi dalam Bible pada edisi 07 tahun kelima, tidak ada seorangpun dari para pendeta yang datang kemudian mendustakan kami, karena mereka mengetahui hakikat sebenarnya. Dimana hal itu menguatkan akan banyaknya kontradikisi bible. Dikarenakan mayoritas orang yang menyatakan keIslamannya dari Nasrani adalah mereka yang terpelajar dari para pendeta, atau pemuka gereja, atau para ilmuwan mereka. Sebaliknya, tidak pernah ditulis dalam sejarah, sejak terbitnya fajar Islam, bahwa ada satu orang ulama dari kaum muslimin yang meninggalkan agama Islam kemudian memeluk Nasrani. Oleh karenanya tidak akan ada dari kaum muslimin yang masuk ke dalam agama Nasrani kecuali dari golongan orang-orang yang membutuhkan bantuan, dari kaum faqir miskin yang kefakiran dan sakit mereka digunakan oleh gereha agar mereka mau memeluk Nasrani.

Sebaliknya, bersamaan dengan keberadaan ratusan kontradiksi dalam bible yang menyebabkan masuk Islamnya banyak dari pemuka Nasrani, tidak ada satupun orang Nasrani yang mampu menemukan satu kontradiksi dalam al-Qur`anul karim. Dan sesungguhnya kami membuka kesempatan bagi setiap gereja untuk berkumpul dan menetapkan bagi kaum muslimin melalui majalah Qiblati bahwa terdapat satu saja kontradiksi dalam al-Qur`anul karim, dan itu mustahil. Tidak akan mungkin bagi al-Quran menyebutkan ungkapan, ‘Dirikanlah shalat.’ Kemudian dalam tempat lain menyebutkan, ‘Jangan dirikan shalat’; ‘bayarkanlah zakat’, pada tempat lain, ‘jangan bayarkan zakat’; ‘penutup para nabi’ pada tempat lain, ‘bukan penutup para nabi’; kemudian analogkan ayat-ayat lain yang telah dijanjikan penjagaannya oleh Allah hingga datangnya hari kiamat. Allah Allah Subhanaahu wa Ta`ala berfirman:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (٩)

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr (15): 9)

Tidak aka nada satu orang berakalpun yang akan berpegang teguh dengan kitab yang sudah dirubah-rubah, lagi berkontradiksi dan saling bertentangan, kemudian dia meninggakan kitab yang bebas dari kontradiksi apapun. Oleh karena itulah saya memohon kepada Anda, agar Anda meminta kepada gereja untuk memberikan satu saja kontradiksi dalam al-Qur`an yang mulia, agar setelahnya Anda bisa menyingkap hakikat yang kemudian Anda bisa berjalan di jalan yang pada akhirnya kelak, yaitu pada waktu yang sudah tidak bermanfaat lagi penyesalan, bahwa ternyata jalan itu adalah jalan yang menyampaikan Anda kedalam neraka, karena ternyata al-Masih ‘alaihi salam berlepas diri dari agama Anda, dan berlepas diri dari setiap kitab suci yang telah dirubah-rubah oleh manusia.



Wanita Nasrani berkata:

Tetapi aku tidak maksa kamu untuk percaya. Tapi tolong pertimbangkanlah kata-kataku ini. Karena jika aku berkata dusta dan mengajarkan ajaran sesat padamu, murka Allah pasti menimpaku. Tapi aku yakin bahwa ini adalah kebenaran, karena I Orintus 15:14, Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitakan, maka sia-sialah juga kepercayaan kamu. Lebih daripada itu kami ternyata berdusta terhadap Allah karena tentang dia kami katakan bahwa Ia telah membangkitakan Kristus padahal Ia tidak membangkitkan-Nya. Sebab jika benar orang mati tidak dibangkitkan, maka Kristus juga tidak dibangkitkan. Dan jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu. Demikianlah binasa juga orang-orang yang mati dalam Kristus.

Jawab: Pertama, bagus sekali Anda berbicara tentang masalah kemanfaatan iman, dan ketidak manfaatannya. Kemanfaatan iman adalah apa yang diusahakan untuk dicapai oleh setiap orang yang berakal. Akan tetapi bagimana kita bisa mencapai kemanfaatan ini? Ini adalah sebuah pertanyaan penting yang kami butuh mengetahui jawabannya. Karena kemanfaatan iman adalah kehidupan abadi di sorga, dan ketidak manfaatannya adalah kebinasaan dan kehidupan abadi di neraka.

Tidak mungkin bagi akal bisa menerima bahwa Allah Allah Subhanaahu wa Ta`ala menjadi banyak jalan yang kesemuanya bisa menyampaikan ke kenikmatan sorga. Jalan yang sebenarnya dari Allah haruslah Cuma satu jalan yang di dalamnya terdapat hidaayah dan ridha Allah. Suatu perkara yang mustahil jika Islam, Nasrani, Yahudi, Budha, Hindu dan seluruh agama akan menghantarkan pemeluknya ke dalam kenikmatan akhirat. Lalu mengapa termasuk perkara mustahil bahwa semua agama akan menghantarkan kepada kenikmatan akhirat?

Jawabnya, dengan segenap kemudahan, adalah bahwa agama-agama itu saling bertentangan satu sama lain. Maka jika mustahil seluruh agama yang saling bertentangan itu bisa menghantarkan kepada ridha Allah, maka menjadi mustahil pula agama Nasrani bisa menghantarkan kepada keridhaan Allah dan kenikmatan abadi karena Nasrani juga kontrandiksi terhadap dirinya sendiri.

Jika Yahudi dan agama kontradiksi lainnya saling bertentangan dan kontradiksi, maka hal itu adalah sebuah dalil yang pasti, dan bukti nyata bahwa agama Islam adalah agama yang haq, karena dia adalah satu-satunya agama yang tidak ada kontradiksi dalam kitabnya -yang telah diturunkan dari sisi Allah- sekalipun hanya satu kali.

Adapun tentang iman dengan kebangkitan al-Masih ‘alaihi salam, maka kaum muslimin meyakini turunnya al-Masih ‘alaihi salam di akhir zaman, dikarenakan orang-orang Yahudi tidak membunuh al-Masih ‘alaihi salam. Bahkan merekapun tidak mensalibnya, akan tetapi Allah mengangkatnya tanpa mereka bisa menyentuhnya.

Sementara yang disalib adalah orang lain, inilah yang ditetapkan oleh al-Qur`an dengan segenap kejelasan tanpta ada kontradiksi.

Allah Allah Subhanaahu wa Ta`ala berfirman tentang orang-orang Yahudi:

وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللَّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِنْهُ مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلا اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا (١٥٧)بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا (١٥٨)

“Dan karena Ucapan mereka: "Sesungguhnya Kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah", Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa` (4): 157-158)

Sementara kita mendapati bahwa Bible saling berkontradiksi, dan berselisih dalam masalah penyaliban dengan perselisihan besar; dan saya akan meringkasnya sebagai berikut:

1. Yesus telah disalib dan dibunuh, itu adalah ucapan mayoritas orang-orang Yahudi dan Nasrani pada hari ini.

Sementara al-Qur`an telah menyebutkan pengakuan orang-orang Yahudi bahwa mereka telah membunuh Isa ‘alaihi salam, kemudian al-Qur`an mendustakan dan melaknat mereka karena ucapan tersebut. Adapun Nasrani maka mereka telah berselisih pendapat sejak pertama kali kejadian perkara ini. Dan yang telah tetap, bahwa mayoritas kelompok Nasrani tetap berkeyakinan sepanjang abad pertama, bahwa al-Masih ‘alaihi salam sama sekali tidak digantung di tiang salib.

2. al-Masih telah disalib, akan tetapi tidak terbunuh.

Ini adalah ucapan yang terdahulu. Sebagian orang Nasrani kontemporer menjelaskannya dibawah teori pingsan. Mereka mengatakan bahwa al-Masih telah digantung di tiang salib. Akan tetapi salah satu manusia memberikan sepercak kain yang dilumuri dengan cuka, lalu diapun pingsan, hingga manusia mengiranya dia telah mati. Kemudian dilakukanlah pelariannya. Kemudian dia mati wajar selang beberapa waktu setelah itu.

Al-Qur`an telah menafikan dua pendapat pertama ini dengan ungkapan, ‘Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya,’. Maka tidak pernah terjadi pembunuhan pada diri beliau, walaupun hanya sekedar penyaliban.

3. Setelah Allah mengangkat al-masih ‘alaihi salam, maka orang-orang Yahudi tidak bisa menemukannya, lalu merekapun mengaku telah menyalibnya kemudian membunuhnya. Yang menguatkan hal ini adalah apa yang disebutkan dalam Yohanna (7:34-35) Kamu akan mencari Aku, tetapi tidak akan bertemu dengan Aku, sebab kamu tidak dapat datang ke tempat di mana Aku berada." Orang-orang Yahudi itu berkata seorang kepada yang lain: "Ke manakah Ia akan pergi, sehingga kita tidak dapat bertemu dengan Dia? Adakah maksud-Nya untuk pergi kepada mereka yang tinggal di perantauan, di antara orang Yunani, untuk mengajar orang Yunani?

Dan jawabannya adalah bahwa tantangn itu tidak mengandung arti bahwa orang-orang Yahudi tidak menyalib seorangpun sebagai ganti tempat al-Masih. Sebagaimana al-Qur`an telah menetapkan bahwa mereka telah membunuh dan menyalib laki-laki lain yang diserupakan atas manusia: ‘Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka.’

4. Yudas, salah satu murid al-Masih yang mengorbankan diri demi Nabi mereka. Maka murid tersebut mengaku sebagai al-Masih saat para tentara mencarinya. Maka perkara itupun menjadi samar bagi orang Yahudi, bahwa mereka telah menyangka bahwa mereka telah mensalib dan membunuh al-Masih.

5. Injil Barnabas (15: 112) mengaku bahwa al-Masih telah mengumumkan bahwa dia akan hidup sampai akhir alam semesta. Dan bahwasannya Jibril telah memberitahukan kepadanya akan pengkhianatan Yudas. Kemudian al-Masih mengumumkan bahwa Allah akan mengangkatnya dari bumi, kemudian akan merubah rupa sang pengkhianat yaitu Yudas agar setiap orang menyangkanya sebagai al-Masih. Maka orang Yahudipun menyangkanya sebagai al-Masih, kemudian mereka mensalib dan membunuhnya.

Sekalipun teori ini tidak bertentangan dengan al-Qur`an, dan bersandar pada kitab Nasrani, akan tetapi kita tidak membenarkannya, pun tidak mendustakannya selagi tidak bertentangan dengan al-Qur`an dan sunnah Nabi i. Sekalipun Injil Barnabas adalah Injil Nasrani yang paling benar, dan paling sedikit perubahannya.

Yang perlu diperhatikan, bahwa kesepakatan Bible akan tidak tahunya orang-orang yang datang untuk menangkap al-Masih akan diri al-Masih. Mereka membutuhkan tanda dari Yudas yang menyerahkannya agar mereka bisa mengetahui orang yang mereka cari. Injil Markus (14: 44-46) mengatakan: Orang yang menyerahkan Dia telah memberitahukan tanda ini kepada mereka: "Orang yang akan kucium, itulah Dia, tangkaplah Dia dan bawalah Dia dengan selamat." Dan ketika ia sampai di situ ia segera maju mendapatkan Yesus dan berkata: "Rabi," lalu mencium Dia. Maka mereka memegang Yesus dan menangkap-Nya.

Adapun Injil Yohannes, maka dia telah menjelaskan dengan terang bahwa orang yang ditangkap adalah orang yang mengaku dirinya adalah al-Masih ‘alaihi salam, dimana para tentara dan para tetua Yahudi itu tidak mengetahui rupa al-Masih. (18:3-5) Maka datanglah Yudas juga ke situ dengan sepasukan prajurit dan penjaga-penjaga Bait Allah yang disuruh oleh imam-imam kepala dan orang-orang Farisi lengkap dengan lentera, suluh dan senjata. Maka Yesus, yang tahu semua yang akan menimpa diri-Nya, maju ke depan dan berkata kepada mereka: "Siapakah yang kamu cari?" Jawab mereka: "Yesus dari Nazaret." Kata-Nya kepada mereka: "Akulah Dia." Yudas yang mengkhianati Dia berdiri juga di situ bersama-sama mereka.

Dan ini dikuatkan oleh al-Qur`an, yaitu orang-orang yang membunuhnya tidak mengetahui rupanya. Itulah makna firman Allah Allah Subhanaahu wa Ta`ala : tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka.’ Maka al-Qur`an telah membatalkan seluruh perselisihan orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam masalah penyaliban dan pembunuhan al-Masih ‘alaihi salam.

Terkahir kami katakan seandainya Bible itu dari sisi Allah, maka apakah aka nada berbagai perselisihan dan kontradiksi dalam satu masalah seperti ini? Sekali-kali tidak akan ada Kitab Suci Allah yang penuh dengan perselisihan dan kontradiksi seperti ini.

Shalawat dan salam atas Nabi kita Isa ‘alaihi salam dan Ibunya, Maryam yang suci ‘alaiha salam. (AR) 

Misi Wanita Nashrani (Surat Seorang Wanita Nasrani di Malaysia) Bagian 6

Wanita Kristen dari Malaysia itu berkata di dalam surat kepada temannya di Indonesia:

“Akan tetapi, jika kamu percaya pada Yesus bahwa Dialah juru selamat manusia, percayalah kamu pasti diselamatkan.”Jawab:

Saya katakan: Bahkan percayalah Anda, bahwa pikiran adanya juru selamat bagi manusia adalah pokok pemikiran Yahudi. Oleh karena itulah orang-orang Yahudi hingga hari ini mengimani adanya juru selamat bagi mereka. Yahudi terbagi menjadi dua kelompok, sekte SafaradimTunjukkan huruf latin (Ambassaradim) dan sekte Eskanazim (Ashkenazim), dan masing-masing sekte mengeklaim bahwa dia memiliki juru selamat yang berbeda dengan sekte lain tentang penyebutan nama juru selamat tersebut. Safaradim berkeyakinan bahwa juru selamat bagi mereka adalah Svardia, sedang Eskanazim berkeyakinan bahwa juru selamat mereka adalah Shkinazia. Dikarenakan agama Yahudi jauh lebih kuno daripada Nasrani, dan demi kemaslahatannya dalam perubahan Kitab Suci setelah Taurat agar yang tetap ada agama mereka yang batil, dan tetap ada juga keimanan mereka kepada Nabi-Nabi mereka saja tanpa Nabi-Nabi Allah, dan Rasul-Nya yang Allah utus untuk seluruh manusia; untuk tujuan ini semua, mereka turut andil dalam mengubah-ubah Bibel, lalu memasukkan pemikiran “juru selamat baru” padanya. Dan sebelumnya mereka telah menuduh zina Maria h, dan merekalah yang telah membunuh al-Masih (seperti keyakinan Nasrani).

Janganlah Anda menyangka bahwa Nasrani saja satu-satunya agama yang memiliki pemikiran adanya al-Masih sang juru selamat. Terdapat 16 juru selamat bagi banyak agama dan kelompok. Terdapat juru selamat bagi agama berhala India, yaitu Dewa Krishna yang telah disalib pada tahun 1200 SM. Ada juga juru selamat bagi orang Hindu Dewa Sakiya yang telah disalib pada 600 SM. Juga ada juru selamat bagi penganut Miksik, yaitu Dewa Kiksaleckot yang telah disalib pada 587 SM. Ada juru selamat untuk bangsa Romawi, yaitu Dewa Kwerenas yang disalib tahun 506 SM. Ada juru selamat bagi penduduk Tibet, yaitu Dewa Indra yang telah disalib pada 725 SM. Juru selamat bagi negeri Persia yaitu Dewa Mithra yang telah disalib pada 600 SM. Juru selamat bagi orang-orang Mesir, yaitu Dewa Tsulis yang telah disalib pada 1700 SM. Dan dewa-dewa lain seperti Dewa Hisus (Jesús) bagi orang-orang Eropa, dan Dewa Ayar (Mei) bagi penduduk Nepal. Dan yang aneh, bahwa seluruh juru selamat tersebut telah disalib, dan yang lebih mengherankan lagi adalah sebagian mereka telah disalib persis seperti disalibnya al-Masih. Dan yang mencengangkan lagi adalah bahwa semuanya disalib karena penghapusan kesalahan-kesalahan manusia, dan penghapusan dosa makhluk.

Kita perhatikan bahwa berbagai sejarah penyaliban itu lebih kuno daripada penyaliban al-Masih. Jadi pemikiran tersebut adalah pemikiran kuno, dan ikut-ikutan orang lain tampak jelas di dalamnya. Oleh karena itu, agar agama Masehi ini tetap lestari dan tidak punah haruslah dibuat pemikiran tersebut yang telah diambil dari agama-agama lain.

Di sinilah berhak bagi kami untuk bertanya-tanya, “Jika keyakinan salib dan pengorbanan itu benar, maka mana di antara ke sekian juru selamat itu yang hakiki (paling benar)?”

Apa yang menjadikan saya harus beriman kepada Yesus bahwa dia adalah seorang juru selamat, dan tidak beriman dengan Tuhan Persia Mithra sebagai juru selamat kita?[1]

Kemudian, sekalipun terpaksa mengatakan bahwa al-Masih ‘alaihi salam adalah seorang juru selamat yang hakiki, maka dia akan menjadi juru selamat bagi kaum Bani Israil saja tidak selain mereka, sebagaimana dikatakan oleh Paulus dalam Kisah Para Rasul 13:23 Dan dari keturunannyalah, sesuai dengan yang telah dijanjikan-Nya, Allah telah membangkitkan Juruselamat bagi orang Israel, yaitu Yesus. Yaitu, sungguh disayangkan bahwa Yesus ternyata bukan juru selamat bagi orang-orang Indonesia dan selain mereka. Oleh karena itulah tempat kembali kalian adalah adzab Allah, karena tidak ditemukan bagi kalian seorang juru selamat.

Wanita Kristen:

Sejak manusia jatuh ke dalam dosa, tak seorang pun yang bisa diselamatkan. Sekalipun mereka telah berbuat baik. Akan tetapi, oleh karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan anak-Nya yang tunggal yang dikandung dari Roh Kudus supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal.

Jawab:

Saya memiliki satu pertanyaan yang tidak akan saya ajukan kepada Anda, karena sulitnya pertanyaan tersebut. Akan tetapi saya akan mengajukannya kepada setiap pendeta dan gereja di mana saja, dan saya berangan-angan agar mereka menjawabnya. Minimal jika mereka tidak ingin menjawab majalah Qiblati, mereka menghadapkan hakikat kepada kalian, dan menjawab kalian, jika mereka mampu.

Pertanyaan tersebut adalah, ‘Apakah Yesus adalah juru selamat bagi pengikutnya yang hidup pada zamannya, atau juga juru selamat bagi para pengikut setelahnya?’

Mereka harus menjawab salah satu dari dua pilihan tersebut, dan yang paling manis dari keduanya adalah pahit. Sebab, jika mereka menjawab bahwa Yesus adalah juru selamat bagi pengikutnya di zamannya saja, maka ini adalah sebuah kezaliman yang menimpa orang-orang yang beriman kepadanya setelahnya. Jika mereka menjawab bahwa dia juga juru selamat pula bagi para pengikut setelahnya, maka sungguh Yesus telah membantu kezaliman, kemaksiatan, dan permusuhan, serta mendorong untuk membunuh, mencuri, korupsi dan maksiat lainnya, karena setiap pelaku kejahatan akan bebas dari dosa hanya dengan sekedar pengakuannya terhadap pelanggaran dosa tersebut. Dan dia langsung akan mendapatkan ampunan, dan hidup dengan kehidupan yang kekal. Maka keadilan apakah yang ada dalam aqidah yang rusak ini?!

Wanita Kristen:

Sebab dalam Yohannes 4:16, yesus berkata, akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tak ada seorangpun yang datang kepada Bapak kalau tidak melalui Aku.

Jawab:

Dalil tersebut dipakai oleh orang-orang Nasrani sebagai dalil atas ketuhanan Yesus. Padahal saat memperhatikan dengan benar, kita mendapati bahwa dalil itu sama sekali tidak menunjukkan keTuhanannya baik dari jauh maupun dekat, akan tetapi malah menunjukkan bahwa Yesus itu adalah seorang Rasul.

Ucapan Yesus ‘akulah jalan’ adalah benar, tidak ada seorangpun mampu sampai kepada Allah kecuali dari sela-sela utusan-Nya yang Dia utus. Mereka adalah orang yang mengetahui tentang Allah, halal, haram, dan segenap pengajaran. Oleh karena itu, para Rasul itu adalah jalan yang dari sela-sela mereka manusia akan bisa sampai kepada Allah Subhanaahu wa Ta`ala .

Oleh karena itulah kami beriman bahwa Yesus adalah jalan kepada Allah, seperti nabi-nabi lainnya ‘alaihi salam.

Ucapan Yesus ‘akulah… kebenaran’, maka kamipun beriman bahwa Yesus adalah seorang Rasul yang haq (benar) dari sisi Allah, yang Allah telah mengutusnya untuk menyampaikan risalah-Nya, agar menjadi sebab hidayah manusia menuju jalan haq (benar), yang menyampaikan kepada Allah, dan mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju terang.

Ucapan Yesus ‘akulah… hidup’ yaitu kehidupan yang kekal dalam kenikmatan akhirat bagi setiap orang yang menjawab dakwahnya, yang telah dipikulkan oleh Allah Subhanaahu wa Ta`ala kepadanya sebagaimana para Nabi dan Rasul yang lain.

Ucapan Yesus ‘Tak ada seorangpun yang datang kepada Bapak kalau tidak melalui Aku’ maka ya, benar, tidak seorang pun mampu sampai kepada Allah kecuali dari sela-sela para Rasul-Nya, karena mereka adalah jalan hidayah (petunjuk). Mereka adalah manusia yang paling tahu tentang Allah, makhluk yang paling tahu tentang segala yang dicintai dan dimurkai Allah.

Wanita Kristen:

Matius 10:32, yesus berkata, 'Setiap orang yang mengakui aku di depan manusia, aku juga akan mengakuinya di depan Bapaku di Sorga. Tetapi barangsiapa menyangkal aku di depan manusia, aku juga akan menyangkalnya di depan bapakku di sorga.

Jawab:

Seandainya manusia itu menguasai akalnya, pastilah menjadi jelas baginya dari dalil ini bahwa Yesus menafikan ketuhanan dari dirinya. Dikarenakan dia menafikan perbuatan dari dirinya sendiri. Cukuplah dia menjadi seorang saksi atas umatnya, sebagaimana para Nabi dan Rasul lain. Allah Subhanaahu wa Ta`ala lah satu-satunya yang Maha Kuasa, dan berbuat. Sebagaimana nash (teks) ini datang bersesuaian dengan pondasi agama Islam. Yaitu bahwa para Nabi memiliki syafaat pada hari kiamat, demikian pula para malaikat dan orang-orang mukmin memberikan syafaat. Hanya saja syafaat Nabi Muhammad Sholallohu `alaihi wa sallam adalah yang terbesar. Maka syafaat beliau Sholallohu `alaihi wa sallam mencakup setiap orang yang masuk ke dalam neraka dari para pelaku maksiat dari golongan ahli tauhid.

Sebagaimana menjadi jelas dari dalil Bibel tadi bahwa Yesus akan datang sebagai saksi atas kaumnya. Hal inipun bersesuaian dengan syariat Islam, dan sifat-sifat para Nabi. Allah Subhanaahu wa Ta`ala telah mensifati Nabi Muhammad Sholallohu `alaihi wa sallam dalam al-Qur`an dengan saksi atas umat beliau. Allah Subhanaahu wa Ta`ala berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا (٤٥)

“Hai Nabi, Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk Jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan,” (QS. Al-Ahzab (33): 45)

Allah Subhanaahu wa Ta`ala berfirman:

…وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

“… dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu….” (QS. Al-Baqarah (2): 143)

Allah Subhanaahu wa Ta`ala berfirman:

فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاءِ شَهِيدًا (٤١)

“Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (Rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).” (QS. An-Nisa` (4): 41)

Allah Subhanaahu wa Ta`ala berfirman:

وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيدًا عَلَيْهِمْ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَى هَؤُلاءِ ….

“(dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia….” (QS. An-Nahl (16): 89)

Dan ayat-ayat lain. Jadi apa yang akan dilakukan oleh Yesus pada hari kiamat, juga akan dilakukan oleh seluruh Nabi.

Wanita Kristen:

I Korintus 8:6, Namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapak yang daripada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup,

Jawab:

Bukanlah suatu hal yang penting Anda mengakui Tuhan, akan tetapi apakah Tuhan mengakui Anda sekalian, dan mengakui cara ibadah yang Anda lakukan?!

Kemudian dalam nash (teks) tersebut dia mengatakan satu Allah saja, tapi Anda mengatakan tiga?!!

Adapun ucapannya “yaitu Bapak yang daripada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup”, maka benar, itu adalah dakwah Islam, dan dakwah Nabi Islam, dan ayat al-Qur`an, serta sabda-sabda Nabi Muhammad Sholallohu `alaihi wa sallam telah menunjukkan akan hal itu.

Wanita Kristen:

dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup.

Jawab:

Pada Nash yang sebelumnya bagi Anda ada satu Tuhan saja yaitu Allah (Bapak), dan dalam Nash ini kalian memiliki satu Tuhan saja yaitu Yesus?!!

Anda melakukan kontradiksi. Anda sendiri yang menentang diri Anda. Demikianlah segala sesuatu jika tidak berasal dari sisi Allah, pastilah akan terdapat banyak perselisihan. Inilah pembenar firman Allah Subhanaahu wa Ta`ala dalam al-Qur`an:

أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلافًا كَثِيرًا (٨٢)

“Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisa` (4): 82)

Kemudian, bagaimana Yesus menjadi Tuhan sementara Bibel tidak mendatangkan satu bukti pun akan hal itu?

Jika Yesus adalah Tuhan, maka di mana dia pernah memerintahkan para pengikutnya untuk menyembahnya?!

Kemudian bagaimana Allah menciptakan segala sesuatu, karena Yesus kemudian menjadikan manusia yang telah Dia ciptakan, karena Yesus membunuh Yesus?!!

Kemudian apakah orang yang dibunuh manusia menjadi Tuhan?!! Lalu dimana kekuasaan dan kekuatan Tuhan serta perbuatan-Nya di alam ini?!

Lalu di mana Bapak saat Dia melihat anak satu-satunya dibunuh?!!

Wanita Kristen:

Dalam Matius 10:37 Yesus berkata, Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.

Jawab:

Ini adalah dalil lain bahwa Yesus adalah seorang Nabi, bukan Tuhan. Seandainya dia adalah Tuhan, pastilah dia tidak butuh perbandingan keTuhanan dirinya dengan manusia. Seharusnya; dia adalah Tuhan, dan seluruh manusia rendah darinya, maka bagaimana dia masukkan dirinya sendiri dalam perbandingan dengan manusia sementara dia adalah Tuhan. Dan perkara yang menguatkan nash ini, yaitu bahwa dia adalah seorang Nabi yang diutus adalah pembicaraan tersebut telah disebutkan oleh Nabi Muhammad Sholallohu `alaihi wa sallam , dimana beliau bersabda:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتىَّ أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ نَفْسِهِ

“Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga aku menjadi orang yang paling dia cintai daripada dirinya sendiri.”

Jadi arah pembicaraan Yesus ‘alaihi salam adalah sama dengan arah pembicaraan para Nabi. Adapun Tuhan maka tidak layak membandingkan diri-Nya dengan manusia.

Shalawat dan salam atas Nabi kita Isa ‘alaihi salam dan Ibunya, Maryam yang suci h. (AR)*



[1]

Orang Persia saling mewarisi keyakinan ini hingga mereka berkeyakinan bahwa Ali dan para Imam memiliki kekuasaan Kauniyah (bertindak dalam alam ini), yaitu bahwa mereka menciptakan, dan bahwa mereka adalah orang-orang yang memasukkan manusia ke dalam sorga, dan merekalah yang memasukkan manusia ke dalam neraka, kemudian mereka mengeklaim bahwa siapa yang ingin selamat wajib baginya untuk beriman kepada Ali dan para imam lain bahwa mereka adalah orang-orang ma’shum (yang bebas dari kesalahan) yang wahyu telah diberikan kepada mereka, dan bahwa mereka lebih utama daripada seluruh para Nabi dan Rasul.



Termasuk di antara para imam itu adalah imam yang kedua belas yang masih bersembunyi di pengasingan, padahal dia memiliki kekuasaan kauniyah sebagaimana halnya para imam lain sebagaimana mereka klaim. Yaitu bahwa dia memiliki kekuasaan untuk mengatakan kepada sesuatu, ‘Jadilah, maka jadilah.’ Maka dia mampu dalam sekejap untuk menghapus negeri-negeri kafir dan musuh-musuhnya hanya dalam sekejap saja. Sungguh aneh, bagi orang yang tengah bersembunyi ini, yang memiliki kemampuan Kauniyah, dan tidak menggunakannya. Sungguh aneh bagi ‘Ali Rodiallohu `anhu yang memiliki kemampuan kauniyah, dan tidak mampu menghancurkan Mu’awiyah Rodiallohu `anhu , dan tidak mampu melindungi dirinya dari pembunuhan. Sungguh aneh bagi al-Husain Rodiallohu `anhu yang wafat disembelih berdasarkan aqidah yang rusak ini. Keberadaannya yang memiliki kemampuan Kauniyah, namun sekalipun demikian dia tidak menciptakan air agar dia meminumnya, yang kemudian dia wafat dalam keadaan dahaga. Demikianlah cukup bagi Anda untuk beriman terhadap Ali dan para imam agar Anda menjadi penghuni sorga.

Kami memuji Allah Subhanaahu wa Ta`ala , bahwa keyakinan ini bukanlah termasuk keyakinan kaum muslimin, akan tetapi keyakinan orang-orang Persia. Segala puji bagi Allah yang telah memberikan anugerah akal kepada kita.

Sumber: http://qiblati.com/misi-wanita-nashrani-surat-seorang-wanita-nasrani-di-malaysia-bagian-6.html

Misi Wanita Nashrani (Surat Seorang Wanita Nasrani di Malaysia) Bagian 5

Di dalam surat wanita nashrani kepada teman muslimahnya terdapat syubhat:

"…dalam ajaran Islam juga dipercaya bahwa malaikat itu takut anjing. Jadi kalau malaikat itu turun membawa berkat terus ada anjing yang menggonggong, malaikatnya lari dong. Hahahahah…" 
Jawab:
pertama, saya memohon kepada Allah hidayah bagi Anda. Tampak bahwa Anda sama sekali tidak mengetahui tentang Islam. Pemahaman Anda bahwa malaikat takut dan lari dari anjing adalah sebuah pemahaman salah, tidak benar. Kemudian Anda beralih kepada pelecehan yang sebenarnya tidak layak Anda lakukan. Akan tetapi, saya memakluminya, karena Anda dan orang-orang Nasrani lainnya adalah korban dari orang-orang yang telah menanam kedustaan dan syubhat di dalam akal pikiran Anda agar mereka bisa membuat citra buruk agama Islam karena ketidakmampuan mereka untuk menetapkan kebenaran agama mereka.

Kedua, para malaikat tidak lari dari anjing, akan tetapi para malaikat hanya tidak mau masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada anjing. Nabi Sholallohu `alaihi wa sallam hanya bersabda, 'Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada anjing…" jadi perhatikanlah, bahwa tidak ditemukan ungkapan Anda, 'Malaikat lari dari anjing karena ketakutan…' Maka di sana terdapat perbedaan antara ungkapan 'tidak masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada anjing' dengan 'Lari dari anjing karena ketakutan' sebagaimana yang Anda sangka.

Adapun mengapa malaikat tidak masuk ke dalam sebuah rumah yang di dalamnya ada anjing, maka hal itu terjadi karena anjing itu hewan najis. Dia banyak memakan makanan najis dan berlumuran dengannya, demikian pula karena baunya yang tidak enak. Sementara para malaikat adalah makhluk yang dimuliakan, tidak akan kumpul dengan najis dan maksiat untuk selamanya. Sebagaimana pula sebagian syetan berupa seperti rupa anjing, dan tidak layak bagi para malaikat untuk bersama dengan para syetan.

Saya ingin Anda memahami bahwa agama Islam memiliki syariat khusus pada segenap sisi kehidupan. Dan syariat itu adalah sebuah aturan yang mengatur kehidupan kaum muslimin. Dalam masalah ini, Anda harus memahami beberapa perkara berikut ini:

Pertama, bahwa Islam melarang memelihara anjing. Allah menjadikan hukuman bagi orang yang memelihara anjing adalah diharamkannya para malaikat untuk masuk ke dalam rumahnya, demikian pula shalawat, istighfar, dan permintaan keberkahan oleh para malaikat juga diharamkan atasnya.[1]

Kedua, pengharaman ini tidak mencakup seluruh para malaikat, bahkan dikecualikan malaikat hafazhah (yang menjaga) dan katabah (yang menulis amal). Adapun yang terhalang untuk masuk adalah para malaikat yang berkeliling membawa rahmat, permintaan keberkahan dan istighfar.

Adapun malaikat hafazhah dan katabah, maka mereka tidak akan pernah meninggalkan anak cucu Adam dalam setiap keadaan. Karena mereka diperintahkan untuk menghitung dan mencatat amal-amal mereka. Demikian pula malaikat maut yang diperintahkan untuk mencabut nyawa dalam keadaan apapun.

Maka keberadaan anjing di dalam rumah akan merampas keberkahan rumah karena tidak adanya malaikat rahmat yang masuk ke dalamnya. Hal ini berbeda dengan rumah-rumah yang makmur dengan dzikir mengingat Allah, dan shalat, maka malaikat rahmat akan memasukinya.

Ketiga, malaikat tidak hanya tidak memasuki rumah yang di dalamnya terdapat anjing, bahkan malaikat juga tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada khamr (miras), zina, perbuatan sihir, perjudian, dan tontonan pelacuran di TV. Demikian pula para malaikat merasa terganggu oleh orang yang datang kepada shalat dengan bau bawang merah, bawang putih, dan bawang bakung. Jika bau makanan-makanan tersebut mengganggu para malaikat, maka bagaimana pula tanggapan Anda dengan anjing?!

Keempat, sesungguhnya agama Islam menjadikan aqidah (keyakinan) terhadap para malaikat pada kedudukan yang agung. Iman dengan para malaikat adalah salah satu rukun dari rukun-rukun iman, dan siapa yang menolaknya, maka dia kafir. Allah Subhanaahu wa Ta`ala berfirman:

…. وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا بَعِيدًا (١٣٦)

"…Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya." (QS. An-Nisa`: 136)

Sekarang, saya sudah menjelaskan kedudukan para malaikat di dalam agama Islam, maka apakah mungkin bagi Anda untuk mendatangkan satu nash saja dari Bibel yang menetapkan bahwa siapa yang menolak malaikat berarti kafir? Jika tidak ada, maka siapa yang memuliakan dan mengagungkan para malaikat, kaum muslimin atau Nasrani?!

Siapakah yang memberikan pensucian yang layak dan agung bagi para malaikat, serta memberikan kedudukan yang tinggi bagi mereka, agama Islam ataukah agama Nasrani yang menurut mereka tidak masalah para malaikat kumpul dengan anjing dalam satu tempat?!

Syubhat: '…dalam terjemahan surat al-Fatihah, saya hanya ingat sedikit, Muhammad berkata, 'Ya Tuhan, tunjukkanlah kami jalan yang lurus.' Berarti selama sekitar 1400 tahun yang lalu, Muhammad gak tahu jalan yang lurus.'

Jawab: pertama, al-Qur`anul Karim adalah firman Allah Subhanaahu wa Ta`ala yang telah Dia turunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad Sholallohu `alaihi wa sallam . Akan tetapi, al-Qur`an itu adalah kitab hidayah (petunjuk) bagi segenap kaum muslimin pada setiap zaman, bukan hanya bagi Nabi Sholallohu `alaihi wa sallam . Sebagaimana Nabi Sholallohu `alaihi wa sallam membaca ihdinas shirathal mustaqim (tunjukilah kami jalan yang lurus), maka demikian pula setiap muslim hingga zaman ini, dan hingga hari kiamat membaca ihdinas shirathal mustaqim (tunjukilah kami jalan yang lurus).

Hidayah (petunjuk) memiliki beberapa makna agung yang tidak dipahami oleh akal orang-orang yang ingin memburukkan citra Islam. Di saat Nabi Sholallohu `alaihi wa sallam dan muslim manapun membaca ihdinas shirathal mustaqim (tunjukilah kami jalan yang lurus) seakan-akan dia meminta dari Rabb nya agar memberinya rizqi ilmu terhadap kebenaran yang Allah tidak akan menerima selainnya. Meminta dari rabb-nya agar memberinya rincian kebenaran, kemampuan untuk mempelajari kebenaran, kemampuan untuk mengamalkan kebenaran yang diajarkan Allah kepadanya, menghilangkan kemalasan dari mempelajari dan mengamalkan kebenaran, menjadikannya ingin mempelajari dan mengamalkan kebenaran, menghilangkan darinya segala penghalang yang mengahalanginya dari mempelajari dan mengamalkan kebenaran, menolongnya untuk mempelajari, mengamalkan dan konsisten dengan kebenaran, dan menolongnya untuk merealisasikan keikhlasan (sampai akhir hayat).

Jadi, itulah makna hidayah, bukan seperti apa yang dipahami oleh akal Anda sekalian. Dikarenakan Anda mengambil sebagian al-Qur`an dan meninggalkan sebagian yang lain. Anda lupa bahwa Nabi Sholallohu `alaihi wa sallam juga membaca di dalam shalatnya satu ayat:

رَبَّنَا لا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ (٨)

"(Mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau jadikan hati Kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada Kami, dan karuniakanlah kepada Kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha pemberi (karunia)". (QS. Ali Imran: 8)

Ayat tersebut mendustakan anggapan Anda bahwa Nabi Sholallohu `alaihi wa sallam tidak mengetahui bahwa beliau berada di atas jalan yang lurus.

Syubhat: kenapa dalam ajaran islam ada kitab jin.

Jawab: Karena ajaran al-Masih ‘alaihi salam terbatas hanya untuk kaumnya saja, adapun ajaran Nabi Muhammad Sholallohu `alaihi wa sallam mencakup bangsa manusia dan bangsa jin. Oleh karena itulah kalian sendiri mengakui bahwa al-Masih ‘alaihi salam datang hanya untuk menyelamatkan manusia saja, yaitu tidak untuk menyelamatkan bangsa jin. Sebagaimana Anda menganggap bahwa jin itu adalah bagian dari syetan. Adapun dalam agama Islam, maka bangsa jin punya hak untuk sampai kepada mereka ajaran ketuhanan penutup yang diamanahkan di atas pundak Nabi-Nya, Muhammad Sholallohu `alaihi wa sallam .

Syubhat: Dalam ajaran Kristus, kami hanya percaya kepada roh kudus yang berasal dari tuhan.

Jawab: Itu adalah urusan Anda sendiri, dan tidak ada kaitannya dengan kami, akan tetapi sungguh disayangkan bahwa ucapan itu adalah ucapan yang tertolak. Karena beberapa sekte Nasrani tidak sepakat akan ketuhanan roh kudus. Katholik, Protestan, dan Ortodox memiliki keyakinan-keyakinan berbeda tentang roh kudus. Adapun kami, kaum muslimin, maka kami sepakat akan keberadan bangsa jin. Kami sepakat bahwa Nabi Sholallohu `alaihi wa sallam diutus oleh Allah Subhanaahu wa Ta`ala untuk seluruh bangsa manusia dan bangsa jin. Dan penyebab kesepakatan kaum muslimin, dan perselisihan orang-orang Nasrani adalah bawa Allah Subhanaahu wa Ta`ala telah berjanji kepada kaum muslimin untuk menjaga kitab-Nya. Oleh karena itulah al-Qur`anul Karim yang merupakan firman Allah tetap eksis tanpa penambahan, pengurangan, ataupun perubahan sejak diturunkannya 1400 tahun yang lalu. Sementara kaum Nasrani, maka bibel mereka telah diubah-ubah. Bahkan perubahan tersebut terus berlangsung hingga hari ini. Pada edisi yang lalu kami telah menetapkan sedikit hal itu. Oleh karena itu, kami telah mengatakan bahwa siapa yang tidak beriman bahwa Bibel tidak diubah-ubah, maka dia tidak beriman dengan Bibel.

Syubhat: '… oh ya kamu kan kalo ketemu dengan orang mengucapkan Assalamu'alaikum. Kata kum ini berarti banyak. berarti kalau disampaikan pada satu orang gak cocok. Ini karena Muhammad mengatakan bahwa manusia itu punya jin. Jadi kalau ketemu sama orang dan mengucapkan salam itu berarti kamu juga mengucapkan salam sama jin. Nah, gitu deh kalo kamu gak tahu arti al-Qur`an yang kamu baca selama ini. Kalo orang Kristen di Arab mengucapkan salam, salam alaik, artinya salam damai sejahtera.

Jawab: saya memohon hidayah kepada Allah bagi Anda. Anda bukan saja tidak memahami agama Islam sebagaimana telah saya kabarkan kepada Anda. Akan tetapi Anda, sebagaimana mayoritas orang-orang Nasrani, memiliki keyakinan terhadap syubhat tanpa tatsabbut (mengecek kebenarannya). Sesungguhnya kami, saat kami mengucapkan salam kepada satu orang, kami katakan assalamu'alaikum, maka kami bermaksud pula kepada dua malaikat yang bersamanya. Setiap muslim memiliki dua malaikat yang mencatat kebaikan dan yang lain mencatat keburukan. Demikian pula kondisi saat kami keluar dari shalat dengan salam, maka kami juga bermaksud mengucapkan salam kepada dua malaikat di sisi kanan, dan di sisi kiri. Jadi tujuan dari assalamu'alaikum adalah untuk para malaikat, bukan untuk jin. Dan ini adalah bentuk pemuliaan dan penghormatan terhadap para malaikat dari kaum muslimin saja, tidak dari selain mereka. Maka apakah akal bisa menerima seorang penipu datang dan menjadikan pemuliaan dan penghormatan ini sebagai bagian dari pelecehan?!

Syubhat; dalam surat al-syuruq (maaf kalo salah tulis) ayat 61, percayalah pada Isa almasih, bahwa dia itu juru selamat (terjemahannya)

Jawab: Pertama, tidak ditemukan adanya surat dalam al-Qur`an bernama surat syuruq. Ini adalah bukti bahwa Anda hanya menukil tanpa pemahaman, dan tanpa mengecek kebenarannya. Karena akal tidak bekerja dengan baik, maka Anda tidak mengizinkan diri Anda untuk menyingkap hakikat kebenaranan dengan pergi ke Internet lalu memastikan keberadaan surat tersebut. Demikian mereka para pendeta, mereka ingin membiarkan akal-akal Anda tidak bekerja agar mereka bisa menutupi hakikat kebenaran. Anda hanyalah satu orang dari ratusan juta orang di dunia yang tertipu oleh mereka. Oleh karena itulah, ini adalah sebuah perkara yang kami tidak merasa heran dengannya. Buku-buku, internet, dan para pendeta, semuanya adalah faktor-faktor yang turut andil dalam upaya pemburukan citra Islam dengan kedustaan dan permusuhan. Akan tetapi, orang yang menanam di dalam akal Anda bahwa terdapat surat Syuruq di dalam al-Qur`an, saya memohon agar Anda sampaikan kepadanya ajakan Majalah Qiblati untuk turut serta dalam dialog damai, barangkali memang di dalam al-Qur`an terdapat surat dengan nama as-syuruq, sementara kami tidak mengetahuinya, sehingga hidayah bagi kami melalui kedua tangannya.

Adapun keimanan kami terhadap Isa (Yesus) ‘alaihi salam, maka tidak ada keraguan di dalamnya. Akan tetapi kami beriman kepadanya bahwa dia seperti para Nabi yang diutus oleh Tuhan Semesta alam, seperti halnya seorang hamba dari para hamba Allah, bukan Tuhan. Bahkan siapa saja dari kaum muslimin yang tidak beriman dengan Isa ‘alaihi salam, maka dia kafir, sekalipun beriman dengan Muhammad Sholallohu `alaihi wa sallam . Bahkan Isa ‘alaihi salam adalah Rasul yang paling dicintai oleh kaum Muslimin setelah Nabi Muhammad Sholallohu `alaihi wa sallam , karena dia adalah Nabi terakhir sebelum nabi Kami Muhammad Sholallohu `alaihi wa sallam . Dan dialah yang telah memberikan berita gembira dengan kedatangan Muhammad Sholallohu `alaihi wa sallam setelah beliau, sebagaimana ditetapkan di dalam al-Qur`an dan Bibel. Beliaulah yang nantinya akan memimpin umat Islam di akhir zaman, dimana Nabi Sholallohu `alaihi wa sallam bersabda tentangnya:

« أَنَا أَوْلَى النَّاسِ بِابْنِ مَرْيَمَ ، .. لَيْسَ بَيْنِى وَبَيْنَهُ نَبِىٌّ »

"Aku lebih berhak terhadap (Isa) putra Maryam… tidak ada antara aku dengannya seorang Nabi pun." (Muttafaqun 'alaih)

Di dalam syubhat ini, permasalahannya bukanlah pada iman terhadap Isa ‘alaihi salam, karena itu adalah perkara yang disepakati oleh kaum muslimin, akan tetapi permasalahannya adalah tidak ditemukan surat as-Syuruq dalam al-Qur`an. Sebagaimana saya berikan berita lain yang mengejutkan Anda, bahwa tidak ditemukan dalam setiap surat al-Qur`an ayat dengan nomor 61 yang berbicara tentang Isa ‘alaihi salam dengan nash yang seperti Anda sebut.

Yang aneh, bahwa setiap syubhat yang ada pada surat Anda tidak dilengkapi dengan sumber dan nomornya kecuali syubhat ini saja, sekalipun salah. Maka apakah kesalahan Anda dengan nama surat dan nomornya mengharuskan untuk dimaklumi ataukah tidak? Maka saya tinggalkan ini bagi keinsafan akal cerdas Anda.

Shalawat dan salam atas Nabi kita Isa ‘alaihi salam dan Ibunya, Maryam yang suci ‘alaiha salam. (AR)*



[1] Bahkan ada hukuman lain bagi orang yang memlihara anjing di rumah, yaitu setiap hari pahalanya dikurangi satu qirath (HR. Malik, Bukhari, Muslim). Lebih dari itu, kalau anjing atau suara anjingnya mengganggu dan menakuti tetangganya atau orang yang lewat maka itu adalah dosa tersendiri, sebab Nabi Sholallohu `alaihi wa sallam bersabda: “Tidak halal seorang muslim menakuti muslim lain.” (HR. Abu Daud, Turmudzi, Ahmad) (AH)

Sumber: http://qiblati.com/misi-wanita-nashrani-surat-seorang-wanita-nasrani-di-malaysia-bagian-5.html